Huta Siallagan Samosir Tradisi Mengadili Terdakwa di Masa Lampau

Memasuki Huta Siallagan, anda akan melihat pemandangan yang umum di Tanah Batak yakni deretan rumah bolon dan sopo. Istimewanya, di sini terdapat deretan batu berbentuk kursi yang tersusun melingkari meja batu. Tempat ini dinamakan Batu Parsidangan. Letaknya persis di tengah kampung, tepatnya di bawah pohon hariara yang memiliki akar melilit. Pohon suci seperti ini biasanya ditanam di perkampungan Batak. Adapun Batu Parsidangan ini berada di 2 lokasi. Yang pertama tertata rapi dengan posisi melingkar di bawah pohon dan berfungsi sebagai tempat rapat, dimana rangkaian batunya meliputi kursi raja dan permaisuri, kursi tetua adat, kursi raja untuk undangan dan huta tetangga, dan kursi untuk pemilik ilmu kebatinan. Sedangkan Batu Parsidangan kedua berfungsi sebagai tempat eksekusi, dimana rangkaian batunya tidak begitu berbeda dengan Batu Parsidangan pertama, hanya ditambahkan sebuah batu besar memanjang sebagai tempat pembaringan terdakwa untuk kemudian dipenggal kepalanya.

Mengapa dinamakan Batu Parsidangan? Karena fungsinya memang untuk mengadili pelanggar hukum adat, seperti kasus pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan sebagainya dan mengadili musuh politik sang raja. Untuk mencari hari baik pelaksanaan sidang bersama tetua adat, Raja Siallagan menggunakan kalender Batak. Para tetua adat akan mengusulkan jenis hukuman sesuai dengan derajat kesalahan, lalu Raja Siallagan menetapkan hukuman denda, pasung, atau pancung. Terdakwa akan dipasung terlebih dahulu sebelum diadili. Prosesi pemancungan, dimulai dengan menyayat tubuh terdakwa hingga mengeluarkan darah. Apabila terdakwa memiliki ilmu kebal, tubuh terdakwa ditetesi jeruk nipis sebelum dipenggal. Sebuah cerita mengatakan bahwa potongan tubuh terdakwa dibagikan untuk dimakan beramai-ramai. Bila Raja Siallagan sangat membenci terdakwa, maka ia akan memakan jantungnya. Darahnya ditampung untuk dijadikan minuman pencuci mulut dan potongan tubuhnya dibuang ke Danau Toba. Selama 1-2 minggu masyarakat dilarang menyentuh air Danau Toba karena dianggap berisi roh jahat. Sementara itu, bagian kepala terdakwa dibungkus dan dikubur jauh dari Huta Siallagan.
Kemungkinan dari kisah klasik inilah, sempat muncul stereotype bahwa masyarakat Batak melakukan ritual kanibalisme. Perlahan ritual ini menghilang setelah Dr. I.L. Nommensen, seorang pendeta asal Jerman menyebarkan agama Kristen di wilayah Samosir pada pertengahan abad ke-19. Semenjak itu, Raja Siallagan yang menganut agama Parmalim, mengubah keyakinannya dengan memeluk agama Kristen dan tidak lagi melanjutkan ritual kanibalisme. Kini, Huta Siallagan menjadi desa wisata yang bertujuan mengenang sejarah dan tradisi dari salah satu suku di Tanah Batak. Saat mengunjungi Huta Siallagan dan ditemani oleh pemandu, biasanya ia akan menceritakan kisah ini lebih rinci dengan tujuan sebagai pelajaran dari tradisi di masa lampau.
Untuk masuk ke Huta Siallagan, wisatawan harus terlebih dulu melewati patung batu besar yang melambangkan penjaga (Pangulubalang), dimana fungsi patung ini sebagai pengusir roh jahat. Wisatawan akan masuk dari pintu gerbang di barat daya dan keluar dari sebelah timur. Berada di Huta Siallagan seakan memasuki peradaban tua zaman batu. Di perkampungan ini terdapat 8 unit rumah tradisional Batak yang telah berusia ratusan tahun. Selain itu, terdapat juga rumah adat yang telah dijadikan museum. Di dalam museum ini tersimpan beragam kain tradisional Batak, alat penenun ulos, perkakas memasak, dan peralatan rumah tangga lainnya. Bagi anda yang ingin membawa pulang oleh-oleh dari Huta Siallagan, bisa membelinya di tempat penjualan aneka kerajinan khas Batak, yang menyediakan kain, T-shirt, ukiran khas Batak, dan gantungan kunci. Untuk mendapatkan pilihan yang lebih beragam, anda bisa menemukannya di toko souvenir yang berada di sepanjang Jalan Lingkar Tuktuk Siadong dan di sekitar Makam Raja Sidabutar Tomok. Bila ingin membawa oleh-oleh kacang rondam yang merupakan khas Samosir, bisa mendapatkannya di Jl. Putri Lopian. Untuk mencapai Huta Siallagan, anda bisa menaiki kapal feri dari Tigaras menuju Pelabuhan Simanindo.
SUMBER: http://www.gabeboni.com/2015/04/Kampung-Siallagan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar