Senin, 29 Februari 2016

WADUK SERMO Menanti Senja di Tepi Telaga

WADUK SERMO
Menanti Senja di Tepi Telaga

Sermo, Hargowilis, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia
Waduk sermo sebagai satu-satunya waduk yang ada di Jogja laksana oase di tengah perbukitan karst Menoreh yang eksotis. Naik perahu berkeliling tak kalah menyenangkan dengan menikmati senja di tepinya.
Berada di tengah-tengah perbukitan menoreh, Waduk Sermo yang tenang seolah menjadi taman tirta bagi putri khayangan yang hendak mandi, menyembunyikannya dari mata nakal yang ingin mengintip ritual membersihkan diri para putri.
Ingin menikmati suasana berbeda dari Jogja, kali ini kami mengarahkan kompas ke arah barat, menuju Kulon Progo. Berbagai suasana kami lalui, mulai hiruk pikuk kota, aspal mulus yang naik turun mengular, hingga sepi jalanan berbatu dengan rindang pohon di kiri kanan. Ladang, tanah persawahan, rumah-rumah desa, dan tebing berbatu menjadi pemandangan sepanjang perjalanan.
Setelah satu jam berkendara, sampailah kami pada sebuah telaga buatan, dialah Waduk Sermo. Lahan seluas 157 hektar yang dulunya adalah sebuah perkampungan ini kini telah disulap menjadi telaga yang tenang dan menentramkan. Ada dua cara paling menyenangkan untuk menikmati Waduk Sermo. Pertama, dengan menyewa perahu boat untuk menyusuri setiap lekukannya. Sementara yang kedua adalah dengan duduk bersantai di pinggir telaga sambil menanti senja. Sebuah cara sederhana mensyukuri pemberian Sang Pencipta.
Tak mau rugi, keduanya akan kami coba hari ini. Maka naiklah kami ke atas perahu bermesin yang membawa berkeliling. Mengamati setiap lekuk indahnya, menyentuh airnya, merasakan hembusan angin yang membelai wajah dan memainkan rambut. Ah, angin yang manja membuat kami semakin jatuh cinta. Tak perlu biaya mahal untuk bisa menikmatinya, kita hanya perlu membayar Rp 6.000 per orang atau bila menginginkan suasana lebih tenang, kita bisa menyewa perahu secara privat seharga Rp 30.000.
Saat sore mulai tiba, kami bergeser ke dekat pintu air dan duduk bersantai menghadap ke barat. Ya, inilah ritual menunggu senja. Mengantarkan sang surya pulang ke punggung bukit untuk beristirahat agar esok kembali berbagi energi dengan bumi. Dari pinggir telaga kami merasakan waktu yang berjalan seolah adalah sebuah gerakan tangan pelukis saat sedang menyapukan warna kuning keemasan, sesekali menyipratkan jingga pada langit, pada permukaan air, pada rumput dan batu yang menjadi bibirnya, pada hutan dan bukit yang menjadi pelindungnya.
Suasana berubah semakin keemasan, mengingatkan pada novel karangan Seno Gumira Ajidarma yang berjudul negeri senja. Seperti inikah negeri itu? Sebuah negeri yang tak tak pernah mengenal siang dan malam, satu-satunya yang ada hanyalah senja, satu-satunya warna adalah jingga. Ah, mendadak kami merasa menjadi musafir yang tersesat ke negeri misterius itu. Warna remang keemasannya menyihir kami untuk duduk diam seribu bahasa sambil terus memandang telaga.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/waduk-sermo/

PUNCAK SUROLOYO Meneropong Candi Borobudur dari Perbukitan Buddha Tidur

PUNCAK SUROLOYO
Meneropong Candi Borobudur dari Perbukitan Buddha Tidur

Desa Gerbosari, Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia
Puncak Suroloyo merupakan puncak tertinggi Pegunungan Menoreh. Dari ketinggian 1.019 m dpl kita dapat meneropong Candi Borobudur yang terlihat sangat mungil dikelilingi 4 "benteng"-nya: Gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, serta Merapi.
Di sebelah barat laut  membentang Perbukitan Menoreh yang tampak bagaikan siluet patung Buddha tidur, hanya saja ukurannya sungguh raksasa. Pada abad ke-18, seorang pujangga dari Keraton Surakarta, Ngabehi Yasadipura I, pernah menulis sebuah karya sastra berjudul Serat Cabolek. Dalam serat itu dikisahkan Raden Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo mendapatkan wangsit bahwa dia akan menjadi penguasa Tanah Jawa, oleh karena itu dia harus berjalan dari Keraton Kotagede menuju Perbukitan Menoreh. Supaya bisa menjadi penguasa, dia harus melakukan tapa kesatrian di salah satu puncak Perbukitan Menoreh yang kini dikenal dengan nama Puncak Suroloyo. Kawasan ini wajib dikunjungi sebagai dessert perjalanan wisata penemuan harta karun dunia di Borobudur.
Perjalanan menuju Puncak Suroloyo merupakan petualangan tersendiri yang penuh dengan tantangan. Jalanan sempit penuh tanjakan curam, kelokan tajam, serta diapit oleh bukit dan jurang menjadi perjalanan yang mendebarkan. Namun perasaan takut itu akan tergantikan dengan ketakjuban saat melihat pemandangan yang terhampar. Gugusan perbukitan nampak berdiri kokoh melindungi kawasan perdesaan di lembah yang dikelilingi areal persawahan dan ladang. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah warna hijau berpadu dengan biru langit dan putihnya mega. Sesekali terlihat bunga liar yang tumbuh dengan anggun di tengah rumpun ilalang.
Setelah menempuh 15 km perjalanan menggunakan sepeda motor, YogYES pun menjejakkan kaki di Suroloyo. Untuk mencapai puncaknya terdapat 286 anak tangga dengan tingkat kemiringan tinggi yang harus didaki. Awalnya pendakian masih terasa biasa saja, namun mulai anak tangga ke-100 nafas YogYES sudah tersengal dan hampir putus. Setelah beristirahat di anak tangga, pendakian pun dilanjutkan kembali dengan pelan. Begitu menjejakkan kaki di Puncak Suroloyo yang memiliki ketinggian 1.019 m dpl, YogYES disambut dengan kepakan sayap puluhan burung gereja, kupu-kupu, dan juga capung. Rombongan unggas dan serangga itu terbang rendah di atas kepala seolah mengucapkan selamat datang.
Pemandangan indah dan menakjubkan terhampar di depan mata. Areal persawahan berbentuk terasering menghiasi dinding perbukitan, berpadu mesra dengan lembah dan perdesaan. Di kejauhan nampak puncak Gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, dan Merapi menyembul di balik gumpalan awan. Candi Borobudur terlihat dalam ukuran yang sangat mungil, tersembunyi dibalik pepohonan. Dan YogYES pun tercekat, saat tiba-tiba segumpal awan berarak pelan tak jauh dari tempat YogYES berdiri.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/puncak-suroloyo/

GUA KISKENDO Sepenggal Kisah Ramayana yang Tertinggal di Gua

GUA KISKENDO
Sepenggal Kisah Ramayana yang Tertinggal di Gua

Jatimulyo, Girimulya, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia
Gua Kiskendo menawarkan pengalaman menelusuri keelokan lorong panjang berliku berhias stalagtit serta jejak sepenggal kisah Ramayana yang tertinggal dalam perut bumi.
Mata kami seketika terpana oleh pemandangan relief yang terpahat pada tebing-tebing batu di sekitar pintu masuk gua. Ukuran relief yang besar dan terjaga membuatnya semakin nyata. Setiap fragmen yang terpahat melemparkan saya pada Ramayana, sebuah epos paling legendaris di dunia, kisah perebutan Dewi Shinta antara Rama dan Rahwana.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa awal mula persekutuan Rama dan kerajaan kera tak bisa dilepaskan dari cerita pertempuran yang tak kalah sengitnya, yaitu pertempuran antara Mahesasura dan Lembusuro melawan Subali manusia kera. Maka di Goa inilah kita akan menelusuri kisahnya.Tak seperti kebanyakan gua yang hanya bisa dinikmati keelokannya, Gua Kiskendo menawarkan dua hal, sebuah kisah sekaligus keindahan.
Memasuki mulut gua kita akan disambut oleh puluhan sarang laba-laba yang menempel di bibir gua. Sementara akar pepohonan saling berkait di beranda. Matahari yang garang perlahan semakin tak bernyali mengikuti kami yang mulai menuruni dinginnya undak-undakan. Semakin lama semakin gelap hingga terang hanya bisa didapatkan dari headlamp yang mulai kami nyalakan. Sepanjang jalur penelusuran ini telah dialasi beton sehingga tak harus menjadi seorang caver profesional bila ingin menelusurinya. Meski begitu tetesan air dari stalagtit yang membentuk lubang-lubang kecil serta hawa dingin membuat penelusuran kali ini tak kalah mendebarkan.
Goa sedang sepi, hanya kami berdua dan seorang guide yang dengan setia menceritakan setiap lorong gua yang konon adalah istana dari kakak beradik berkepala kerbau dan sapi sekaligus medan pertempurannya melawan Subali. Seketika saya membayangkan bagaimana pertempuran itu terjadi, bagaimana kecemasan Sugriwa yang menunggu dengan was-was keselamatan kakaknya yang tengah bertempur dengan kakak beradik Mahesasura dan Lembusuro di dalam gua. Pun saat melihat sebuah lubang besar menuju langit di atas kepala, saya seolah benar-benar sedang melihat drama kepanikan Subali yang terkurung lantaran pintu masuk yang tertutup batu sehingga harus menjebol langit-langit gua untuk bisa keluar.
Total ada 9 situs pertapaan yang ada di sana, masing-masing adalah Pertapaan Tledek, Kusuman, Padasan, Santri Tani, Semelong, Lumbung Kampek, Selumbung, Seterbang, dan Sekandang. Di tengah-tengah gua, dekat sebuah ruangan yang serupa dengan aula kecil, terdapat gentong berisi air. Air yang berasal dari tetesan stalagtit tersebut bisa kita minum untuk melepas dahaga setelah menelusuri setiap lorong gua sejauh sekitar 1 km.
Menelusuri Gua Kiskendo telah membuat saya seolah sedang menonton pementasan teater dengan artistik sebuah karya masterpiece garapan seorang seniman. Sementara relief yang terpahat indah di sekitarnya serupa prosa yang dibacakan dengan suara merdu nan berat oleh seorang narator. Pandangan perlahan semakin terang, matahari kembali benderang. Pementasan telah berakhir.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/gua-kiskendo/

GUA KIDANG KENCANA Pertemuan si Penggembala dengan Kidang Kencana

GUA KIDANG KENCANA
Pertemuan si Penggembala dengan Kidang Kencana

Sabrang kidul, Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia
Cerita tentang pertemuan seorang penggembala dengan seekor rusa menjadi sejarah awal penamaannya. Petualangan seru menyusuri perut bumi pun dimulai ketika memasuki sebuah lubang dengan penerangan seadanya.
Zamrud di barat Jogja itu kembali memberikan kejutan kecil yang tak hanya menyuguhkan keindahan namun juga menantang para petualang. Di balik perbukitan sunyi dan tanah karst yang tertutup vegetasi rapat nan subur, sebuah lorong perut bumi menyimpan pesona alaminya. Setelah Gua Kiskendo yang memukau dengan sepenggal kisah Ramayana, Kulon Progo masih memiliki Gua Kidang Kencana yang menunggu untuk dijelajahi.
Lokasinya yang berdekatan dengan Gua Kiskendo membuat saya berpikir penggalan kisah Ramayana lainnya terpaut dengan gua yang berada di perbukitan Dusun Sabrang Kidul ini. Apalagi nama Kidang Kencana mengingatkan saya pada kisah tentang seekor rusa jadi-jadian yang sengaja dikirim Rahwana untuk memisahkan Rama dari Dewi Shinta. Namun ternyata, pertemuan seorang penggembala dan seekor rusa ratusan tahun silamlah yang menjadi sejarah awal penamaan gua yang lorongnya mencapai 350 meter ini. Menurut cerita masyarakat setempat, Mbah Bongsoriyo yang kehilangan kambingnya tak sengaja menemukan hewan piaraannya itu berada di dalam sebuah gua bersama seekor rusa. Sejak itulah gua tempat pertemuan Mbah Bongsoriyo dan si rusa dinamakan Gua Kidang Kencana.
Mulut gua yang curam dan tak terlalu besar dengan diameter sekitar dua meter mengantarkan YogYES masuk ke dalam kegelapan lorong gua, setelah sebelumnya kami harus berjalan sejauh 450 meter melewati jalan cor beton. Hanya dengan bantuan cahaya yang berasal dari head lamp, kami pun mulai berjalan mengikuti aliran sungai kecil, menyusuri gua bersama dua orang pemandu yang masih keturunan Mbah Bongsoriyo. Tak ada lampu penerangan atau jalanan cor semen yang memudahkan YogYES untuk mengeksplorasi keelokan hasil fenomena endokarst di dinding gua. Bahkan tak jarang kami harus berjalan jongkok atau merangkak jika lubang di perut bumi ini semakin menyempit. Lorong gua yang bisa menembus bagian di balik bukit ini memang dibiarkan alami tanpa ada perubahan sedikit pun.
Tak melulu lorong gua yang sempit, proses karstifikasi oleh aktivitas air tanah dan air hujan ribuan tahun silam di Gua Kidang Kencana juga menyisakan ruang gua yang lebih lapang, dengan bentukan-bentukan alami berupa ornamen-ornamen dan ukiran unik di dinding gua. Sebut saja Ringin Kurung yang merupakan batuan kapur besar menyerupai pohon beringin lebat, batuan serupa kentongan, ruangan luas yang disebut Selangit, bebatuan alami menyerupai stupa candi yang disebut Candi Sewu, Soko Bentet yang merupakan tiang gua hasil penyatuan stalaktit dan stalagmit, Bungkus Angkrem berupa batu besar menyerupai bentuk hati, Langit Kuntoro, Bulus serta Pancoran. Seluruh ornamen di Gua Kidang Kencana itu pun menambah kekayaan fenomena geologis di Kulon Progo yang senantiasa membuat para penikmatnya berdecak kagum, seperti kami.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/gua-kidang-kencana/

AIR TERJUN SRI GETHUK Gemuruh Suara Air Pemecah Hening di Tanah Kering

AIR TERJUN SRI GETHUK
Gemuruh Suara Air Pemecah Hening di Tanah Kering

Playen, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Terletak di antara ngarai Sungai Oya yang dikelilingi areal persawahan nan hijau, Air Terjun Sri Gethuk selalu mengalir tanpa mengenal musim. Gemuruhnya menjadi pemecah keheningan di bumi Gunungkidul yang terkenal kering.
Eksotisme Grand Canyon di daerah utara Arizona, Amerika Serikat tentunya tak bisa disangkal lagi. Grand Canyon merupakan bentukan alam berupa jurang dan tebing terjal yang dihiasi oleh aliran Sungai Colorado. Nama Grand Canyon kemudian diplesetkan menjadi Green Canyon untuk menyebut obyek wisata di Jawa Barat yang hampir serupa, yakni aliran sungai yang membelah tebing-tebing tinggi. Gunungkidul sebagai daerah yang sering diasumsikan sebagai wilayah kering dan tandus ternyata juga menyimpan keindahan serupa, yakni hijaunya aliran sungai yang membelah ngarai dengan air terjun indah yang tak pernah berhenti mengalir di setiap musim. Air terjun tersebut dikenal dengan nama Air Terjun Sri Gethuk.
Terletak di Desa Wisata Bleberan, Air Terjun Sri Gethuk menjadi salah satu spot wisata yang sayang untuk dilewatkan. Untuk mencapai tempat ini Anda harus naik kendaraan melewati areal hutan kayu putih milik PERHUTANI dengan kondisi jalan yang bervariasi mulai dari aspal bagus hingga jalan makadam. Memasuki Dusun Menggoran, tanaman kayu putih berganti dengan ladang jati yang rapat. Sesampainya di areal pemancingan yang juga berfungsi sebagai tempat parkir, terdapat dua pilihan jalan untuk mencapai air terjun. Pilihan pertama yakni menyusuri jalan setapak dengan pemandangan sawah nan hijau berhiaskan nyiur kelapa, sedangkan pilihan kedua adalah naik melawan arus Sungai Oya. Tentu saja YogYES memilih untuk naik rakit sederhana yang terbuat dari drum bekas dan papan.
Perjalanan menuju Air Terjun Sri Gethuk pun dimulai saat mentari belum naik tinggi. Pagi itu Sungai Oya terlihat begitu hijau dan tenang, menyatu dengan keheningan tebing-tebing karst yang berdiri dengan gagah di kanan kiri sungai. Suara rakit yang melaju melawan arus sungai menyibak keheningan pagi. Sembari mengatur laju rakit, seorang pemandu menceritakan asal muasal nama Air Terjun Sri Gethuk. Berdasarkan cerita yang dipercayai masyarakat, air terjun tersebut merupakan tempat penyimpanan kethuk yang merupakan salah satu instrumen gamelan milik Jin Anggo Meduro. Oleh karena itu disebut dengan nama Air Terjun Sri Gethuk. Konon, pada saat-saat tertentu masyarakat Dukuh Menggoran masih sering mendengar suara gamelan mengalun dari arah air terjun.
Tak berapa lama menaiki rakit, suara gemuruh mulai terdengar. Sri Gethuk menanti di depan mata. Bebatuan yang indah di bawah air terjun membentuk undak-undakan laksana tepian kolam renang mewah, memanggil siapa saja untuk bermain di dalam air. YogYES pun turun dari rakit dan melompati bebatuan untuk sampai di bawah air terjun dan mandi di bawahnya. Kali ini rasanya seperti berada di negeri antah berantah di mana air mengalir begitu melimpah. Air mengalir di sela-sela jemari kaki, air memercik ke seluruh tubuh, air mengalir di mana-mana. Seorang kawan tiba-tiba berteriak "Ada pelangi!". Saat menengadah, selengkung bianglala nan mempesona menghiasi air terjun. Sesaat YogYES merasa menjadi bidadari yang berselendangkan pelangi.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/sri-gethuk/

KEDUNG PEDUT Serunya Bermain Air hingga Lupa Diri di Water Park Alami

KEDUNG PEDUT
Serunya Bermain Air hingga Lupa Diri di Water Park Alami

Jatimulyo, Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta, Indonesia
Tak ada seluncur atau wahana water byur seperti water park kebanyakan, tapi bermain air di water park alami ini malah lebih mengasyikkan. Tumpukan batu-batu berpadu dengan susunan batang-batang bambu menjadi wahana bermain air yang tak kalah seru.
Cahaya matahari pagi itu menemani perjalanan YogYES menuju ke Jogja bagian barat, meninggalkan riuh dan padatnya kota. Melewati jembatan Sungai Progo, pemandangan pun silih berganti dari pemukiman penduduk, sawah terasering hingga perbukitan. Tanjakan demi tanjakan pun kami lewati dengan sedikit rasa was-was ketika jalanan semakin menyempit dengan jurang di sisi kiri atau kanan. Hingga akhirnya kami sampai di gerbang masuk wisata Kedung Pedut yang menjadi tujuan kami kali ini.
Sampai di gerbang masuknya bukan berarti YogYES bisa langsung menikmati keindahan Kedung Pedut, karena kami masih harus berjalan sekitar 400 meter. Jalanan setapak dari tanah yang sudah dipadatkan ini ternyata cukup membuat ngos-ngosan karena medannya naik turun. Jika berkunjung ke sini, YogYES sarankan untuk memakai sandal gunung atau sepatu karena jalanan cukup licin jika musim penghujan. Bertemu dengan jalan yang bercabang membuat kami harus memilih, berbelok ke kanan atau kiri. Kami pun memilih belok kiri yang ternyata merupakan jalur melingkar. Sedangkan jika berbelok ke kanan, bisa langsung mencapai Kedung Pedut. Meskipun jalan yang kami pilih lebih jauh, namun pemandangan yang disuguhkan ketika kami melewati jalur ini tak membuat kami menyesal. Seperti pemandangan di sebuah gardu pandang yang kami lewati. Sambil mengatur nafas, kami dibuat terpesona dengan keindahan panorama di bawah bukit. Melihat air berwarna turquois yang mengisi aliran sungai dan kolam-kolam alami di bawah sana membuat rasa lelah kami menguap seketika.
Suara anak-anak muda yang asyik berenang membuat kami tak sabar untuk bergabung. Kami pun bergegas melanjutkan trekking yang kini tak hanya jalan setapak naik turun, namun juga melewati jembatan-jembatan bambu, sebuah sumber mata air bernama Penglarisan dan beberapa kedung lain. Walaupun dikenal sebagai Kedung Pedut, wisata alam yang masih satu aliran dengan Air Terjun Mudal dan Air Terjun Kembang Soka ini memang terdiri dari beberapa kedung lain dengan kedalaman beragam mulai satu hingga empat meter. Sebut saja Kedung Merak, Kedung Merang, Kedung Lanang, Kedung Wedok dan Kedung Anyes. Kedung Wedok yang selama ini juga dikenal dengan nama Kedung Pedut merupakan kolam alami yang paling luas di kompleks wisata alam ini, sekaligus memiliki air terjun tertinggi sekitar 15 meter yang biasanya digunakan untuk water canyon. Kedung ini pula yang sering digunakan untuk mandi atau berenang selain Kedung Anyes.
Lembah dengan aliran sungai dan kedung-kedung berwarna turquois yang terlihat dari gardu pandang dan sepanjang jalur melingkar itu kini berada di hadapan kami. Airnya tampak lebih jernih jika dilihat dari dekat seperti saat ini, bahkan dasar kedung berupa batuan kecil-kecil yang sebagian tertutup endapan kapur pun terlihat dari permukaan. Rasa dingin menyegarkan seketika merambati kaki ketika saya duduk di kursi bambu di pinggir kedung dan menjeburkan kaki kedalamnya. Dari tempat saya duduk, memandang ke sekeliling kedung yang di kelilingi bukit-bukit ini mengingatkan saya pada telaga tempat mandi para bidadari dalam kisah legenda Jaka Tarub. Letaknya yang tersembunyi di antara bukit-bukit membuat kedung-kedung ini terkadang tertutup kabut, terutama Kedung Wedok, sehingga masyarakat sekitar menjulukinya Kedung Pedut, dalam bahasa Jawa pedut berarti kabut.
Tak sekedar kolam-kolam alami untuk berenang, wisata alam yang dibuka sejak 15 Februari 2015 ini lebih mirip water park versi tradisional. Beberapa wahana yang terbuat dari bambu tampak bertebaran di sekitar kedung menggantikan seluncur dan water byur, mulai dari kursi-kursi bambu yang salah satunya saya duduki, jembatan bambu, gardu pandang dari bambu bahkan pancuran bambu. Bermain air dan berenang di kedung yang airnya berasal dari tujuh sumber mata air ini memang seru dan menyenangkan. Seandainya terdapat ikan yang menemani kita berenang di kedung-kedung ini, mungkin akan lebih mengasyikkan.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/kedung-pedut/

EMBUNG BATARA SRITEN Terpesona oleh Sang Batara, Telaga Buatan Tertinggi di Jogja

EMBUNG BATARA SRITEN
Terpesona oleh Sang Batara, Telaga Buatan Tertinggi di Jogja

Sriten, Pilangrejo, Nglipar, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Batara Sriten bukanlah salah satu nama dari sekian banyak dewa-dewi dalam kisah-kisah pewayangan Jawa. Ia hanyalah telaga buatan di puncak tertinggi Gunungkidul yang menawarkan keindahan panorama hingga membuat siapa pun terpesona olehnya.
Jalanan menanjak dan berliku-liku menuju Pegunungan Baturagung Utara membuat saya tak henti-hentinya menahan nafas, tegang. Terlebih ketika tiba-tiba kendaraan kami berhenti di tengah tanjakan curam dan panjang. Jalanan cor blok yang mulai rusak, berlanjut dengan jalanan berbatu kapur kurang lebih sepanjang 5,5 kilometer mengantarkan YogYES menuju dataran tertinggi di Kabupaten Gunungkidul. Saya baru bisa bernafas lega ketika kendaraan telah mencapai tanah datar yang tertutup conblock, area tempat parkir di ketinggian lebih dari 800 Mdpl. Sebuah telaga buatan yang tak terlalu besar dengan kapasitas sekitar 10 ribu meter kubik tersaji di depan mata, dikelilingi pagar besi rendah dan jalan conblock di tepinya.
Kawasan pegunungan Baturagung Utara tak jauh berbeda dengan kawasan kabupaten Gunungkidul lainnya, berupa pegunungan karst tandus dan sering kali dilanda kekeringan ketika kemarau tiba. Pembangunan retention basin yang dikenal dengan nama Embung Batara Sriten pun dianggap sebagai solusi untuk mencegah kelangkaan air sekaligus mengembangkan kawasan agrowisata buah di sekitarnya, dengan memanfaatkan air hujan yang ditampung di musim penghujan.
Saat pertama kali mendengar namanya, terlintas sosok-sosok batara atau dewa-dewi yang tinggal di kayangan dalam kisah-kisah pewayangan. Awalnya saya menerka, lokasi embung yang tak biasa di dataran tinggi digambarkan bagai surgaloka tempat dewa dewi bertakhta. Namun ternyata, sebutan Embung Batara Sriten diberikan karena lokasi embung ini berada di Pegunungan Baturagung Utara yang kemudian disingkat menjadi Batara, tepatnya di wilayah Padukuhan Sriten.
Angin tak henti-hentinya berhembus membawa hawa dingin khas pegunungan ketika YogYES menelusuri tepi embung. Dari jarak sedekat ini dapat terlihat lapisan tipis geo membran yang digunakan dalam teknik pembuatan Embung Batara Sriten. Karena lapisan tipis yang menyerupai plastik hitam inilah, Embung Batara Sriten tak digunakan untuk memelihara ikan. Sebab keberadaan ikan-ikan akan merusak lapisan tipisnya. Hingga akhirnya Embung Batara Sriten hanya dihuni oleh berudu-berudu yang terlihat asyik berenang di air yang berwarna biru kehijauan.
Menikmati indahnya panorama Embung Batara Sriten bisa dilakukan dalam berbagai cara. Seperti duduk-duduk di gazebo-gazebo atau pendopo di sekitar embung sambil merasakan hembusan angin yang tetap dingin, meskipun matahari sedang bersinar penuh semangat. Bisa juga sambil menyesap segarnya segelas es teh atau nikmatnya secangkir kopi tubruk di warung-warung kaki lima yang tak jauh dari embung. Mencoba teduhnya naungan pohon ikonik di Embung Batara Sriten, dalam ayunan hammock seperti yang YogYES lakukan pun menjadi salah satu pilihan menyenangkan.
Sementara yang lain masih terpesona dengan keindahan panorama telaga buatan serta terbuai sejuknya udara pegunungan, dataran yang lebih tinggi di sisi timur menggoda saya untuk mengeksplorasi. Puncak Tugu Magir, begitulah puncak di sisi timur ini disebut. Puncak tertinggi di Pegunungan Baturagung Utara sekaligus puncak tertinggi di Kabupaten Gunungkidul. Di sinilah tempat para penjelajah dirgantara mencoba mengembangkan parasut paralayang dari ketinggian 859 Mdpl. Di tempat ini pula terdapat makam tiban yang dipercaya penduduk setempat sebagai petilasan Syeh Wali Jati, seorang kerabat Sultan pada masanya.
Puncak Tugu Magir menyuguhkan pemandangan 360 derajat wilayah-wilayah di sekitarnya yang berlokasi lebih rendah. Sejauh mata memandang dapat terlihat landscape Kota Klaten dengan Rawa Jombor, Kota Jogja dengan Merapi nan gagah, deretan pegunungan Gunungkidul hingga berlanjut ke wilayah Wonogiri yang tertutup kabut tipis. Dari puncak ini pula kita bisa menyaksikan cahaya pertama matahari mengawali hari, juga saat-saat ia kembali pulang ke peraduan. YogYES berkunjung ketika cuaca cukup cerah lewat tengah hari, sehingga kami tak dapat menyaksikan saat-saat matahari muncul dari balik kabut tipis yang seolah seperti awan-awan berarakan. Namun YogYES mendapat kesempatan untuk menyaksikan saat-saat ia perlahan mulai menghilang, menyelinap di balik cakrawala setelah seharian bersinar cukup garang.
Ketika kami beranjak menuruni Puncak Tugu Magir dan mencapai tepi embung, langit sudah semakin gelap meskipun sisa-sisa semburat merah masih terlukis di langit barat. Suara adzan maghrib mulai terdengar bersahutan di kejauhan, sebagai tanda sudah saatnya kami pulang. Seperti beberapa orang yang sama-sama tak ada niatan untuk camping di kawasan Embung Batara Sriten. Perjalanan pulang pun sama menegangkannya seperti saat kami datang, menyusuri jalanan menurun curam dengan penerangan yang terbatas dari lampu kendaraan. Rem kendaraan harus dipastikan dalam keadaan optimal saat menuruni jalanan pulang, terutama bagi pengguna kendaraan matic yang sebenarnya tak dianjurkan untuk dipergunakan menuju Embung Batara Sriten. Tak adanya engine brake pada motor matic membuat pengemudi hanya bisa mengandalkan rem, sehingga lebih mudah membuat motor matic mengalami over heating pada disc brake. Rasa lega baru memenuhi rongga dada saat roda-roda kendaraan kami telah melaju di jalanan mulus beraspal, di saat langit sudah benar-benar pekat dengan pendar cahaya bulan nan pucat.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/embung-batara-sriten/