EMBUNG BATARA SRITEN
Terpesona oleh Sang Batara, Telaga Buatan Tertinggi di Jogja
Sriten, Pilangrejo, Nglipar, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Batara Sriten bukanlah salah satu
nama dari sekian banyak dewa-dewi dalam kisah-kisah pewayangan Jawa. Ia
hanyalah telaga buatan di puncak tertinggi Gunungkidul yang menawarkan
keindahan panorama hingga membuat siapa pun terpesona olehnya.
Jalanan menanjak dan berliku-liku menuju Pegunungan
Baturagung Utara membuat saya tak henti-hentinya menahan nafas, tegang.
Terlebih ketika tiba-tiba kendaraan kami berhenti di tengah tanjakan
curam dan panjang. Jalanan cor blok yang mulai rusak, berlanjut dengan
jalanan berbatu kapur kurang lebih sepanjang 5,5 kilometer mengantarkan
YogYES menuju dataran tertinggi di Kabupaten Gunungkidul. Saya baru bisa
bernafas lega ketika kendaraan telah mencapai tanah datar yang tertutup
conblock, area tempat parkir di ketinggian lebih dari 800 Mdpl.
Sebuah telaga buatan yang tak terlalu besar dengan kapasitas sekitar 10
ribu meter kubik tersaji di depan mata, dikelilingi pagar besi rendah
dan jalan
conblock di tepinya.
Kawasan pegunungan Baturagung Utara tak jauh berbeda dengan
kawasan kabupaten Gunungkidul lainnya, berupa pegunungan karst tandus
dan sering kali dilanda kekeringan ketika kemarau tiba. Pembangunan
retention basin
yang dikenal dengan nama Embung Batara Sriten pun dianggap sebagai
solusi untuk mencegah kelangkaan air sekaligus mengembangkan kawasan
agrowisata buah di sekitarnya, dengan memanfaatkan air hujan yang
ditampung di musim penghujan.
Saat pertama kali mendengar namanya, terlintas sosok-sosok
batara atau dewa-dewi yang tinggal di kayangan dalam kisah-kisah
pewayangan. Awalnya saya menerka, lokasi embung yang tak biasa di
dataran tinggi digambarkan bagai surgaloka tempat dewa dewi bertakhta.
Namun ternyata, sebutan Embung Batara Sriten diberikan karena lokasi
embung ini berada di Pegunungan Baturagung Utara yang kemudian disingkat
menjadi Batara, tepatnya di wilayah Padukuhan Sriten.
Angin tak henti-hentinya berhembus membawa hawa dingin khas
pegunungan ketika YogYES menelusuri tepi embung. Dari jarak sedekat ini
dapat terlihat lapisan tipis
geo membran yang digunakan
dalam teknik pembuatan Embung Batara Sriten. Karena lapisan tipis yang
menyerupai plastik hitam inilah, Embung Batara Sriten tak digunakan
untuk memelihara ikan. Sebab keberadaan ikan-ikan akan merusak lapisan
tipisnya. Hingga akhirnya Embung Batara Sriten hanya dihuni oleh
berudu-berudu yang terlihat asyik berenang di air yang berwarna biru
kehijauan.
Menikmati indahnya panorama Embung Batara Sriten bisa
dilakukan dalam berbagai cara. Seperti duduk-duduk di gazebo-gazebo atau
pendopo di sekitar embung sambil merasakan hembusan angin yang tetap
dingin, meskipun matahari sedang bersinar penuh semangat. Bisa juga
sambil menyesap segarnya segelas es teh atau nikmatnya secangkir kopi
tubruk di warung-warung kaki lima yang tak jauh dari embung. Mencoba
teduhnya naungan pohon ikonik di Embung Batara Sriten, dalam ayunan
hammock seperti yang YogYES lakukan pun menjadi salah satu pilihan menyenangkan.
Sementara yang lain masih terpesona dengan keindahan
panorama telaga buatan serta terbuai sejuknya udara pegunungan, dataran
yang lebih tinggi di sisi timur menggoda saya untuk mengeksplorasi.
Puncak Tugu Magir, begitulah puncak di sisi timur ini disebut. Puncak
tertinggi di Pegunungan Baturagung Utara sekaligus puncak tertinggi di
Kabupaten Gunungkidul. Di sinilah tempat para penjelajah dirgantara
mencoba mengembangkan parasut paralayang dari ketinggian 859 Mdpl. Di
tempat ini pula terdapat makam tiban yang dipercaya penduduk setempat
sebagai petilasan Syeh Wali Jati, seorang kerabat Sultan pada masanya.
Puncak Tugu Magir menyuguhkan pemandangan 360 derajat
wilayah-wilayah di sekitarnya yang berlokasi lebih rendah. Sejauh mata
memandang dapat terlihat
landscape Kota Klaten dengan Rawa
Jombor, Kota Jogja dengan Merapi nan gagah, deretan pegunungan
Gunungkidul hingga berlanjut ke wilayah Wonogiri yang tertutup kabut
tipis. Dari puncak ini pula kita bisa menyaksikan cahaya pertama
matahari mengawali hari, juga saat-saat ia kembali pulang ke peraduan.
YogYES berkunjung ketika cuaca cukup cerah lewat tengah hari, sehingga
kami tak dapat menyaksikan saat-saat matahari muncul dari balik kabut
tipis yang seolah seperti awan-awan berarakan. Namun YogYES mendapat
kesempatan untuk menyaksikan saat-saat ia perlahan mulai menghilang,
menyelinap di balik cakrawala setelah seharian bersinar cukup garang.
Ketika kami beranjak menuruni Puncak Tugu Magir dan
mencapai tepi embung, langit sudah semakin gelap meskipun sisa-sisa
semburat merah masih terlukis di langit barat. Suara adzan maghrib mulai
terdengar bersahutan di kejauhan, sebagai tanda sudah saatnya kami
pulang. Seperti beberapa orang yang sama-sama tak ada niatan untuk
camping
di kawasan Embung Batara Sriten. Perjalanan pulang pun sama
menegangkannya seperti saat kami datang, menyusuri jalanan menurun curam
dengan penerangan yang terbatas dari lampu kendaraan. Rem kendaraan
harus dipastikan dalam keadaan optimal saat menuruni jalanan pulang,
terutama bagi pengguna kendaraan
matic yang sebenarnya tak dianjurkan untuk dipergunakan menuju Embung Batara Sriten. Tak adanya
engine brake pada motor
matic membuat pengemudi hanya bisa mengandalkan rem, sehingga lebih mudah membuat motor
matic mengalami
over heating pada
disc brake.
Rasa lega baru memenuhi rongga dada saat roda-roda kendaraan kami telah
melaju di jalanan mulus beraspal, di saat langit sudah benar-benar
pekat dengan pendar cahaya bulan nan pucat.
SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/embung-batara-sriten/