Senin, 29 Februari 2016

Huta Siallagan Samosir Tradisi Mengadili Terdakwa di Masa Lampau

Huta Siallagan Samosir Tradisi Mengadili Terdakwa di Masa Lampau


Unik Tradisi Mengadili Terdakwa Di Masa Lampau Di Desa Siallagan, Jika sedang mengunjungi Pulau Samosir, sempatkanlah diri anda untuk mengunjungi  yang terletak di Desa Ambarita, Kec. Simanindo dan berada tidak jauh dari. Huta Siallagan ini cukup sering dikunjungi oleh wisatawan lokal dan mancanegara. Setibanya di Huta Siallagan, anda akan terkagum melihat perkampungan yang dikeliling batu-batu besar yang disusun bertingkat dan rapi. Dahulunya tembok ini dilengkapi oleh bambu dan berfungsi sebagai penjaga perkampungan dari serangan suku lain dan gangguan binatang buas. Huta Siallagan sendiri dibangun pada masa Raja Laga Siallagan, llau diwariskan kepada Raja Hendrik Siallagan, seterusnya begitu hingga sampai pada keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan. Sejak dahulu Huta Siallagan dihuni oleh marga Siallagan yang merupakan keturunan Raja Naimbaton dengan garis keturunan Raja Isumbaon. Hingga kini keturunan Raja Siallagan masih berdiam di sekitar Desa Ambarita. Beberapa makam keturunan Raja Siallagan dapat ditemukan di desa ini.

Huta Siallagan Samosir

Memasuki Huta Siallagan, anda akan melihat pemandangan yang umum di Tanah Batak yakni deretan rumah bolon dan sopo. Istimewanya, di sini terdapat deretan batu berbentuk kursi yang tersusun melingkari meja batu. Tempat ini dinamakan Batu Parsidangan. Letaknya persis di tengah kampung, tepatnya di bawah pohon hariara yang memiliki akar melilit. Pohon suci seperti ini biasanya ditanam di perkampungan Batak. Adapun Batu Parsidangan ini berada di 2 lokasi. Yang pertama tertata rapi dengan posisi melingkar di bawah pohon dan berfungsi sebagai tempat rapat, dimana rangkaian batunya meliputi kursi raja dan permaisuri, kursi tetua adat, kursi raja untuk undangan dan huta tetangga, dan kursi untuk pemilik ilmu kebatinan. Sedangkan Batu Parsidangan kedua berfungsi sebagai tempat eksekusi, dimana rangkaian batunya tidak begitu berbeda dengan Batu Parsidangan pertama, hanya ditambahkan sebuah batu besar memanjang sebagai tempat pembaringan terdakwa untuk kemudian dipenggal kepalanya.

Huta Siallagan Samosir

Mengapa dinamakan Batu Parsidangan? Karena fungsinya memang untuk mengadili pelanggar hukum adat, seperti kasus pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan sebagainya dan mengadili musuh politik sang raja. Untuk mencari hari baik pelaksanaan sidang bersama tetua adat, Raja Siallagan menggunakan kalender Batak. Para tetua adat akan mengusulkan jenis hukuman sesuai dengan derajat kesalahan, lalu Raja Siallagan menetapkan hukuman denda, pasung, atau pancung. Terdakwa akan dipasung terlebih dahulu sebelum diadili. Prosesi pemancungan, dimulai dengan menyayat tubuh terdakwa hingga mengeluarkan darah. Apabila terdakwa memiliki ilmu kebal, tubuh terdakwa ditetesi jeruk nipis sebelum dipenggal. Sebuah cerita mengatakan bahwa potongan tubuh terdakwa dibagikan untuk dimakan beramai-ramai. Bila Raja Siallagan sangat membenci terdakwa, maka ia akan memakan jantungnya. Darahnya ditampung untuk dijadikan minuman pencuci mulut dan potongan tubuhnya dibuang ke Danau Toba. Selama 1-2 minggu masyarakat dilarang menyentuh air Danau Toba karena dianggap berisi roh jahat. Sementara itu, bagian kepala terdakwa dibungkus dan dikubur jauh dari Huta Siallagan.

Kemungkinan dari kisah klasik inilah, sempat muncul stereotype bahwa masyarakat Batak melakukan ritual kanibalisme. Perlahan ritual ini menghilang setelah Dr. I.L. Nommensen, seorang pendeta asal Jerman menyebarkan agama Kristen di wilayah Samosir pada pertengahan abad ke-19. Semenjak itu, Raja Siallagan yang menganut agama Parmalim, mengubah keyakinannya dengan memeluk agama Kristen dan tidak lagi melanjutkan ritual kanibalisme. Kini, Huta Siallagan menjadi desa wisata yang bertujuan mengenang sejarah dan tradisi dari salah satu suku di Tanah Batak. Saat mengunjungi Huta Siallagan dan ditemani oleh pemandu, biasanya ia akan menceritakan kisah ini lebih rinci dengan tujuan sebagai pelajaran dari tradisi di masa lampau.

Untuk masuk ke Huta Siallagan, wisatawan harus terlebih dulu melewati patung batu besar yang melambangkan penjaga (Pangulubalang), dimana fungsi patung ini sebagai pengusir roh jahat. Wisatawan akan masuk dari pintu gerbang di barat daya dan keluar dari sebelah timur. Berada di Huta Siallagan seakan memasuki peradaban tua zaman batu. Di perkampungan ini terdapat 8 unit rumah tradisional Batak yang telah berusia ratusan tahun. Selain itu, terdapat juga rumah adat yang telah dijadikan museum. Di dalam museum ini tersimpan beragam kain tradisional Batak, alat penenun ulos, perkakas memasak, dan peralatan rumah tangga lainnya. Bagi anda yang ingin membawa pulang oleh-oleh dari Huta Siallagan, bisa membelinya di tempat penjualan aneka kerajinan khas Batak, yang menyediakan kain, T-shirt, ukiran khas Batak, dan gantungan kunci. Untuk mendapatkan pilihan yang lebih beragam, anda bisa menemukannya di toko souvenir yang berada di sepanjang Jalan Lingkar Tuktuk Siadong dan di sekitar Makam Raja Sidabutar Tomok. Bila ingin membawa oleh-oleh kacang rondam yang merupakan khas Samosir, bisa mendapatkannya di Jl. Putri Lopian. Untuk mencapai Huta Siallagan, anda bisa menaiki kapal feri dari Tigaras menuju Pelabuhan Simanindo.


SUMBER: http://www.gabeboni.com/2015/04/Kampung-Siallagan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar