Senin, 29 Februari 2016

WADUK SERMO Menanti Senja di Tepi Telaga

WADUK SERMO
Menanti Senja di Tepi Telaga

Sermo, Hargowilis, Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia
Waduk sermo sebagai satu-satunya waduk yang ada di Jogja laksana oase di tengah perbukitan karst Menoreh yang eksotis. Naik perahu berkeliling tak kalah menyenangkan dengan menikmati senja di tepinya.
Berada di tengah-tengah perbukitan menoreh, Waduk Sermo yang tenang seolah menjadi taman tirta bagi putri khayangan yang hendak mandi, menyembunyikannya dari mata nakal yang ingin mengintip ritual membersihkan diri para putri.
Ingin menikmati suasana berbeda dari Jogja, kali ini kami mengarahkan kompas ke arah barat, menuju Kulon Progo. Berbagai suasana kami lalui, mulai hiruk pikuk kota, aspal mulus yang naik turun mengular, hingga sepi jalanan berbatu dengan rindang pohon di kiri kanan. Ladang, tanah persawahan, rumah-rumah desa, dan tebing berbatu menjadi pemandangan sepanjang perjalanan.
Setelah satu jam berkendara, sampailah kami pada sebuah telaga buatan, dialah Waduk Sermo. Lahan seluas 157 hektar yang dulunya adalah sebuah perkampungan ini kini telah disulap menjadi telaga yang tenang dan menentramkan. Ada dua cara paling menyenangkan untuk menikmati Waduk Sermo. Pertama, dengan menyewa perahu boat untuk menyusuri setiap lekukannya. Sementara yang kedua adalah dengan duduk bersantai di pinggir telaga sambil menanti senja. Sebuah cara sederhana mensyukuri pemberian Sang Pencipta.
Tak mau rugi, keduanya akan kami coba hari ini. Maka naiklah kami ke atas perahu bermesin yang membawa berkeliling. Mengamati setiap lekuk indahnya, menyentuh airnya, merasakan hembusan angin yang membelai wajah dan memainkan rambut. Ah, angin yang manja membuat kami semakin jatuh cinta. Tak perlu biaya mahal untuk bisa menikmatinya, kita hanya perlu membayar Rp 6.000 per orang atau bila menginginkan suasana lebih tenang, kita bisa menyewa perahu secara privat seharga Rp 30.000.
Saat sore mulai tiba, kami bergeser ke dekat pintu air dan duduk bersantai menghadap ke barat. Ya, inilah ritual menunggu senja. Mengantarkan sang surya pulang ke punggung bukit untuk beristirahat agar esok kembali berbagi energi dengan bumi. Dari pinggir telaga kami merasakan waktu yang berjalan seolah adalah sebuah gerakan tangan pelukis saat sedang menyapukan warna kuning keemasan, sesekali menyipratkan jingga pada langit, pada permukaan air, pada rumput dan batu yang menjadi bibirnya, pada hutan dan bukit yang menjadi pelindungnya.
Suasana berubah semakin keemasan, mengingatkan pada novel karangan Seno Gumira Ajidarma yang berjudul negeri senja. Seperti inikah negeri itu? Sebuah negeri yang tak tak pernah mengenal siang dan malam, satu-satunya yang ada hanyalah senja, satu-satunya warna adalah jingga. Ah, mendadak kami merasa menjadi musafir yang tersesat ke negeri misterius itu. Warna remang keemasannya menyihir kami untuk duduk diam seribu bahasa sambil terus memandang telaga.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/waduk-sermo/

PUNCAK SUROLOYO Meneropong Candi Borobudur dari Perbukitan Buddha Tidur

PUNCAK SUROLOYO
Meneropong Candi Borobudur dari Perbukitan Buddha Tidur

Desa Gerbosari, Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia
Puncak Suroloyo merupakan puncak tertinggi Pegunungan Menoreh. Dari ketinggian 1.019 m dpl kita dapat meneropong Candi Borobudur yang terlihat sangat mungil dikelilingi 4 "benteng"-nya: Gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, serta Merapi.
Di sebelah barat laut  membentang Perbukitan Menoreh yang tampak bagaikan siluet patung Buddha tidur, hanya saja ukurannya sungguh raksasa. Pada abad ke-18, seorang pujangga dari Keraton Surakarta, Ngabehi Yasadipura I, pernah menulis sebuah karya sastra berjudul Serat Cabolek. Dalam serat itu dikisahkan Raden Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo mendapatkan wangsit bahwa dia akan menjadi penguasa Tanah Jawa, oleh karena itu dia harus berjalan dari Keraton Kotagede menuju Perbukitan Menoreh. Supaya bisa menjadi penguasa, dia harus melakukan tapa kesatrian di salah satu puncak Perbukitan Menoreh yang kini dikenal dengan nama Puncak Suroloyo. Kawasan ini wajib dikunjungi sebagai dessert perjalanan wisata penemuan harta karun dunia di Borobudur.
Perjalanan menuju Puncak Suroloyo merupakan petualangan tersendiri yang penuh dengan tantangan. Jalanan sempit penuh tanjakan curam, kelokan tajam, serta diapit oleh bukit dan jurang menjadi perjalanan yang mendebarkan. Namun perasaan takut itu akan tergantikan dengan ketakjuban saat melihat pemandangan yang terhampar. Gugusan perbukitan nampak berdiri kokoh melindungi kawasan perdesaan di lembah yang dikelilingi areal persawahan dan ladang. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah warna hijau berpadu dengan biru langit dan putihnya mega. Sesekali terlihat bunga liar yang tumbuh dengan anggun di tengah rumpun ilalang.
Setelah menempuh 15 km perjalanan menggunakan sepeda motor, YogYES pun menjejakkan kaki di Suroloyo. Untuk mencapai puncaknya terdapat 286 anak tangga dengan tingkat kemiringan tinggi yang harus didaki. Awalnya pendakian masih terasa biasa saja, namun mulai anak tangga ke-100 nafas YogYES sudah tersengal dan hampir putus. Setelah beristirahat di anak tangga, pendakian pun dilanjutkan kembali dengan pelan. Begitu menjejakkan kaki di Puncak Suroloyo yang memiliki ketinggian 1.019 m dpl, YogYES disambut dengan kepakan sayap puluhan burung gereja, kupu-kupu, dan juga capung. Rombongan unggas dan serangga itu terbang rendah di atas kepala seolah mengucapkan selamat datang.
Pemandangan indah dan menakjubkan terhampar di depan mata. Areal persawahan berbentuk terasering menghiasi dinding perbukitan, berpadu mesra dengan lembah dan perdesaan. Di kejauhan nampak puncak Gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, dan Merapi menyembul di balik gumpalan awan. Candi Borobudur terlihat dalam ukuran yang sangat mungil, tersembunyi dibalik pepohonan. Dan YogYES pun tercekat, saat tiba-tiba segumpal awan berarak pelan tak jauh dari tempat YogYES berdiri.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/puncak-suroloyo/

GUA KISKENDO Sepenggal Kisah Ramayana yang Tertinggal di Gua

GUA KISKENDO
Sepenggal Kisah Ramayana yang Tertinggal di Gua

Jatimulyo, Girimulya, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia
Gua Kiskendo menawarkan pengalaman menelusuri keelokan lorong panjang berliku berhias stalagtit serta jejak sepenggal kisah Ramayana yang tertinggal dalam perut bumi.
Mata kami seketika terpana oleh pemandangan relief yang terpahat pada tebing-tebing batu di sekitar pintu masuk gua. Ukuran relief yang besar dan terjaga membuatnya semakin nyata. Setiap fragmen yang terpahat melemparkan saya pada Ramayana, sebuah epos paling legendaris di dunia, kisah perebutan Dewi Shinta antara Rama dan Rahwana.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa awal mula persekutuan Rama dan kerajaan kera tak bisa dilepaskan dari cerita pertempuran yang tak kalah sengitnya, yaitu pertempuran antara Mahesasura dan Lembusuro melawan Subali manusia kera. Maka di Goa inilah kita akan menelusuri kisahnya.Tak seperti kebanyakan gua yang hanya bisa dinikmati keelokannya, Gua Kiskendo menawarkan dua hal, sebuah kisah sekaligus keindahan.
Memasuki mulut gua kita akan disambut oleh puluhan sarang laba-laba yang menempel di bibir gua. Sementara akar pepohonan saling berkait di beranda. Matahari yang garang perlahan semakin tak bernyali mengikuti kami yang mulai menuruni dinginnya undak-undakan. Semakin lama semakin gelap hingga terang hanya bisa didapatkan dari headlamp yang mulai kami nyalakan. Sepanjang jalur penelusuran ini telah dialasi beton sehingga tak harus menjadi seorang caver profesional bila ingin menelusurinya. Meski begitu tetesan air dari stalagtit yang membentuk lubang-lubang kecil serta hawa dingin membuat penelusuran kali ini tak kalah mendebarkan.
Goa sedang sepi, hanya kami berdua dan seorang guide yang dengan setia menceritakan setiap lorong gua yang konon adalah istana dari kakak beradik berkepala kerbau dan sapi sekaligus medan pertempurannya melawan Subali. Seketika saya membayangkan bagaimana pertempuran itu terjadi, bagaimana kecemasan Sugriwa yang menunggu dengan was-was keselamatan kakaknya yang tengah bertempur dengan kakak beradik Mahesasura dan Lembusuro di dalam gua. Pun saat melihat sebuah lubang besar menuju langit di atas kepala, saya seolah benar-benar sedang melihat drama kepanikan Subali yang terkurung lantaran pintu masuk yang tertutup batu sehingga harus menjebol langit-langit gua untuk bisa keluar.
Total ada 9 situs pertapaan yang ada di sana, masing-masing adalah Pertapaan Tledek, Kusuman, Padasan, Santri Tani, Semelong, Lumbung Kampek, Selumbung, Seterbang, dan Sekandang. Di tengah-tengah gua, dekat sebuah ruangan yang serupa dengan aula kecil, terdapat gentong berisi air. Air yang berasal dari tetesan stalagtit tersebut bisa kita minum untuk melepas dahaga setelah menelusuri setiap lorong gua sejauh sekitar 1 km.
Menelusuri Gua Kiskendo telah membuat saya seolah sedang menonton pementasan teater dengan artistik sebuah karya masterpiece garapan seorang seniman. Sementara relief yang terpahat indah di sekitarnya serupa prosa yang dibacakan dengan suara merdu nan berat oleh seorang narator. Pandangan perlahan semakin terang, matahari kembali benderang. Pementasan telah berakhir.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/gua-kiskendo/

GUA KIDANG KENCANA Pertemuan si Penggembala dengan Kidang Kencana

GUA KIDANG KENCANA
Pertemuan si Penggembala dengan Kidang Kencana

Sabrang kidul, Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia
Cerita tentang pertemuan seorang penggembala dengan seekor rusa menjadi sejarah awal penamaannya. Petualangan seru menyusuri perut bumi pun dimulai ketika memasuki sebuah lubang dengan penerangan seadanya.
Zamrud di barat Jogja itu kembali memberikan kejutan kecil yang tak hanya menyuguhkan keindahan namun juga menantang para petualang. Di balik perbukitan sunyi dan tanah karst yang tertutup vegetasi rapat nan subur, sebuah lorong perut bumi menyimpan pesona alaminya. Setelah Gua Kiskendo yang memukau dengan sepenggal kisah Ramayana, Kulon Progo masih memiliki Gua Kidang Kencana yang menunggu untuk dijelajahi.
Lokasinya yang berdekatan dengan Gua Kiskendo membuat saya berpikir penggalan kisah Ramayana lainnya terpaut dengan gua yang berada di perbukitan Dusun Sabrang Kidul ini. Apalagi nama Kidang Kencana mengingatkan saya pada kisah tentang seekor rusa jadi-jadian yang sengaja dikirim Rahwana untuk memisahkan Rama dari Dewi Shinta. Namun ternyata, pertemuan seorang penggembala dan seekor rusa ratusan tahun silamlah yang menjadi sejarah awal penamaan gua yang lorongnya mencapai 350 meter ini. Menurut cerita masyarakat setempat, Mbah Bongsoriyo yang kehilangan kambingnya tak sengaja menemukan hewan piaraannya itu berada di dalam sebuah gua bersama seekor rusa. Sejak itulah gua tempat pertemuan Mbah Bongsoriyo dan si rusa dinamakan Gua Kidang Kencana.
Mulut gua yang curam dan tak terlalu besar dengan diameter sekitar dua meter mengantarkan YogYES masuk ke dalam kegelapan lorong gua, setelah sebelumnya kami harus berjalan sejauh 450 meter melewati jalan cor beton. Hanya dengan bantuan cahaya yang berasal dari head lamp, kami pun mulai berjalan mengikuti aliran sungai kecil, menyusuri gua bersama dua orang pemandu yang masih keturunan Mbah Bongsoriyo. Tak ada lampu penerangan atau jalanan cor semen yang memudahkan YogYES untuk mengeksplorasi keelokan hasil fenomena endokarst di dinding gua. Bahkan tak jarang kami harus berjalan jongkok atau merangkak jika lubang di perut bumi ini semakin menyempit. Lorong gua yang bisa menembus bagian di balik bukit ini memang dibiarkan alami tanpa ada perubahan sedikit pun.
Tak melulu lorong gua yang sempit, proses karstifikasi oleh aktivitas air tanah dan air hujan ribuan tahun silam di Gua Kidang Kencana juga menyisakan ruang gua yang lebih lapang, dengan bentukan-bentukan alami berupa ornamen-ornamen dan ukiran unik di dinding gua. Sebut saja Ringin Kurung yang merupakan batuan kapur besar menyerupai pohon beringin lebat, batuan serupa kentongan, ruangan luas yang disebut Selangit, bebatuan alami menyerupai stupa candi yang disebut Candi Sewu, Soko Bentet yang merupakan tiang gua hasil penyatuan stalaktit dan stalagmit, Bungkus Angkrem berupa batu besar menyerupai bentuk hati, Langit Kuntoro, Bulus serta Pancoran. Seluruh ornamen di Gua Kidang Kencana itu pun menambah kekayaan fenomena geologis di Kulon Progo yang senantiasa membuat para penikmatnya berdecak kagum, seperti kami.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/gua-kidang-kencana/

AIR TERJUN SRI GETHUK Gemuruh Suara Air Pemecah Hening di Tanah Kering

AIR TERJUN SRI GETHUK
Gemuruh Suara Air Pemecah Hening di Tanah Kering

Playen, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Terletak di antara ngarai Sungai Oya yang dikelilingi areal persawahan nan hijau, Air Terjun Sri Gethuk selalu mengalir tanpa mengenal musim. Gemuruhnya menjadi pemecah keheningan di bumi Gunungkidul yang terkenal kering.
Eksotisme Grand Canyon di daerah utara Arizona, Amerika Serikat tentunya tak bisa disangkal lagi. Grand Canyon merupakan bentukan alam berupa jurang dan tebing terjal yang dihiasi oleh aliran Sungai Colorado. Nama Grand Canyon kemudian diplesetkan menjadi Green Canyon untuk menyebut obyek wisata di Jawa Barat yang hampir serupa, yakni aliran sungai yang membelah tebing-tebing tinggi. Gunungkidul sebagai daerah yang sering diasumsikan sebagai wilayah kering dan tandus ternyata juga menyimpan keindahan serupa, yakni hijaunya aliran sungai yang membelah ngarai dengan air terjun indah yang tak pernah berhenti mengalir di setiap musim. Air terjun tersebut dikenal dengan nama Air Terjun Sri Gethuk.
Terletak di Desa Wisata Bleberan, Air Terjun Sri Gethuk menjadi salah satu spot wisata yang sayang untuk dilewatkan. Untuk mencapai tempat ini Anda harus naik kendaraan melewati areal hutan kayu putih milik PERHUTANI dengan kondisi jalan yang bervariasi mulai dari aspal bagus hingga jalan makadam. Memasuki Dusun Menggoran, tanaman kayu putih berganti dengan ladang jati yang rapat. Sesampainya di areal pemancingan yang juga berfungsi sebagai tempat parkir, terdapat dua pilihan jalan untuk mencapai air terjun. Pilihan pertama yakni menyusuri jalan setapak dengan pemandangan sawah nan hijau berhiaskan nyiur kelapa, sedangkan pilihan kedua adalah naik melawan arus Sungai Oya. Tentu saja YogYES memilih untuk naik rakit sederhana yang terbuat dari drum bekas dan papan.
Perjalanan menuju Air Terjun Sri Gethuk pun dimulai saat mentari belum naik tinggi. Pagi itu Sungai Oya terlihat begitu hijau dan tenang, menyatu dengan keheningan tebing-tebing karst yang berdiri dengan gagah di kanan kiri sungai. Suara rakit yang melaju melawan arus sungai menyibak keheningan pagi. Sembari mengatur laju rakit, seorang pemandu menceritakan asal muasal nama Air Terjun Sri Gethuk. Berdasarkan cerita yang dipercayai masyarakat, air terjun tersebut merupakan tempat penyimpanan kethuk yang merupakan salah satu instrumen gamelan milik Jin Anggo Meduro. Oleh karena itu disebut dengan nama Air Terjun Sri Gethuk. Konon, pada saat-saat tertentu masyarakat Dukuh Menggoran masih sering mendengar suara gamelan mengalun dari arah air terjun.
Tak berapa lama menaiki rakit, suara gemuruh mulai terdengar. Sri Gethuk menanti di depan mata. Bebatuan yang indah di bawah air terjun membentuk undak-undakan laksana tepian kolam renang mewah, memanggil siapa saja untuk bermain di dalam air. YogYES pun turun dari rakit dan melompati bebatuan untuk sampai di bawah air terjun dan mandi di bawahnya. Kali ini rasanya seperti berada di negeri antah berantah di mana air mengalir begitu melimpah. Air mengalir di sela-sela jemari kaki, air memercik ke seluruh tubuh, air mengalir di mana-mana. Seorang kawan tiba-tiba berteriak "Ada pelangi!". Saat menengadah, selengkung bianglala nan mempesona menghiasi air terjun. Sesaat YogYES merasa menjadi bidadari yang berselendangkan pelangi.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/sri-gethuk/

KEDUNG PEDUT Serunya Bermain Air hingga Lupa Diri di Water Park Alami

KEDUNG PEDUT
Serunya Bermain Air hingga Lupa Diri di Water Park Alami

Jatimulyo, Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta, Indonesia
Tak ada seluncur atau wahana water byur seperti water park kebanyakan, tapi bermain air di water park alami ini malah lebih mengasyikkan. Tumpukan batu-batu berpadu dengan susunan batang-batang bambu menjadi wahana bermain air yang tak kalah seru.
Cahaya matahari pagi itu menemani perjalanan YogYES menuju ke Jogja bagian barat, meninggalkan riuh dan padatnya kota. Melewati jembatan Sungai Progo, pemandangan pun silih berganti dari pemukiman penduduk, sawah terasering hingga perbukitan. Tanjakan demi tanjakan pun kami lewati dengan sedikit rasa was-was ketika jalanan semakin menyempit dengan jurang di sisi kiri atau kanan. Hingga akhirnya kami sampai di gerbang masuk wisata Kedung Pedut yang menjadi tujuan kami kali ini.
Sampai di gerbang masuknya bukan berarti YogYES bisa langsung menikmati keindahan Kedung Pedut, karena kami masih harus berjalan sekitar 400 meter. Jalanan setapak dari tanah yang sudah dipadatkan ini ternyata cukup membuat ngos-ngosan karena medannya naik turun. Jika berkunjung ke sini, YogYES sarankan untuk memakai sandal gunung atau sepatu karena jalanan cukup licin jika musim penghujan. Bertemu dengan jalan yang bercabang membuat kami harus memilih, berbelok ke kanan atau kiri. Kami pun memilih belok kiri yang ternyata merupakan jalur melingkar. Sedangkan jika berbelok ke kanan, bisa langsung mencapai Kedung Pedut. Meskipun jalan yang kami pilih lebih jauh, namun pemandangan yang disuguhkan ketika kami melewati jalur ini tak membuat kami menyesal. Seperti pemandangan di sebuah gardu pandang yang kami lewati. Sambil mengatur nafas, kami dibuat terpesona dengan keindahan panorama di bawah bukit. Melihat air berwarna turquois yang mengisi aliran sungai dan kolam-kolam alami di bawah sana membuat rasa lelah kami menguap seketika.
Suara anak-anak muda yang asyik berenang membuat kami tak sabar untuk bergabung. Kami pun bergegas melanjutkan trekking yang kini tak hanya jalan setapak naik turun, namun juga melewati jembatan-jembatan bambu, sebuah sumber mata air bernama Penglarisan dan beberapa kedung lain. Walaupun dikenal sebagai Kedung Pedut, wisata alam yang masih satu aliran dengan Air Terjun Mudal dan Air Terjun Kembang Soka ini memang terdiri dari beberapa kedung lain dengan kedalaman beragam mulai satu hingga empat meter. Sebut saja Kedung Merak, Kedung Merang, Kedung Lanang, Kedung Wedok dan Kedung Anyes. Kedung Wedok yang selama ini juga dikenal dengan nama Kedung Pedut merupakan kolam alami yang paling luas di kompleks wisata alam ini, sekaligus memiliki air terjun tertinggi sekitar 15 meter yang biasanya digunakan untuk water canyon. Kedung ini pula yang sering digunakan untuk mandi atau berenang selain Kedung Anyes.
Lembah dengan aliran sungai dan kedung-kedung berwarna turquois yang terlihat dari gardu pandang dan sepanjang jalur melingkar itu kini berada di hadapan kami. Airnya tampak lebih jernih jika dilihat dari dekat seperti saat ini, bahkan dasar kedung berupa batuan kecil-kecil yang sebagian tertutup endapan kapur pun terlihat dari permukaan. Rasa dingin menyegarkan seketika merambati kaki ketika saya duduk di kursi bambu di pinggir kedung dan menjeburkan kaki kedalamnya. Dari tempat saya duduk, memandang ke sekeliling kedung yang di kelilingi bukit-bukit ini mengingatkan saya pada telaga tempat mandi para bidadari dalam kisah legenda Jaka Tarub. Letaknya yang tersembunyi di antara bukit-bukit membuat kedung-kedung ini terkadang tertutup kabut, terutama Kedung Wedok, sehingga masyarakat sekitar menjulukinya Kedung Pedut, dalam bahasa Jawa pedut berarti kabut.
Tak sekedar kolam-kolam alami untuk berenang, wisata alam yang dibuka sejak 15 Februari 2015 ini lebih mirip water park versi tradisional. Beberapa wahana yang terbuat dari bambu tampak bertebaran di sekitar kedung menggantikan seluncur dan water byur, mulai dari kursi-kursi bambu yang salah satunya saya duduki, jembatan bambu, gardu pandang dari bambu bahkan pancuran bambu. Bermain air dan berenang di kedung yang airnya berasal dari tujuh sumber mata air ini memang seru dan menyenangkan. Seandainya terdapat ikan yang menemani kita berenang di kedung-kedung ini, mungkin akan lebih mengasyikkan.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/kedung-pedut/

EMBUNG BATARA SRITEN Terpesona oleh Sang Batara, Telaga Buatan Tertinggi di Jogja

EMBUNG BATARA SRITEN
Terpesona oleh Sang Batara, Telaga Buatan Tertinggi di Jogja

Sriten, Pilangrejo, Nglipar, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Batara Sriten bukanlah salah satu nama dari sekian banyak dewa-dewi dalam kisah-kisah pewayangan Jawa. Ia hanyalah telaga buatan di puncak tertinggi Gunungkidul yang menawarkan keindahan panorama hingga membuat siapa pun terpesona olehnya.
Jalanan menanjak dan berliku-liku menuju Pegunungan Baturagung Utara membuat saya tak henti-hentinya menahan nafas, tegang. Terlebih ketika tiba-tiba kendaraan kami berhenti di tengah tanjakan curam dan panjang. Jalanan cor blok yang mulai rusak, berlanjut dengan jalanan berbatu kapur kurang lebih sepanjang 5,5 kilometer mengantarkan YogYES menuju dataran tertinggi di Kabupaten Gunungkidul. Saya baru bisa bernafas lega ketika kendaraan telah mencapai tanah datar yang tertutup conblock, area tempat parkir di ketinggian lebih dari 800 Mdpl. Sebuah telaga buatan yang tak terlalu besar dengan kapasitas sekitar 10 ribu meter kubik tersaji di depan mata, dikelilingi pagar besi rendah dan jalan conblock di tepinya.
Kawasan pegunungan Baturagung Utara tak jauh berbeda dengan kawasan kabupaten Gunungkidul lainnya, berupa pegunungan karst tandus dan sering kali dilanda kekeringan ketika kemarau tiba. Pembangunan retention basin yang dikenal dengan nama Embung Batara Sriten pun dianggap sebagai solusi untuk mencegah kelangkaan air sekaligus mengembangkan kawasan agrowisata buah di sekitarnya, dengan memanfaatkan air hujan yang ditampung di musim penghujan.
Saat pertama kali mendengar namanya, terlintas sosok-sosok batara atau dewa-dewi yang tinggal di kayangan dalam kisah-kisah pewayangan. Awalnya saya menerka, lokasi embung yang tak biasa di dataran tinggi digambarkan bagai surgaloka tempat dewa dewi bertakhta. Namun ternyata, sebutan Embung Batara Sriten diberikan karena lokasi embung ini berada di Pegunungan Baturagung Utara yang kemudian disingkat menjadi Batara, tepatnya di wilayah Padukuhan Sriten.
Angin tak henti-hentinya berhembus membawa hawa dingin khas pegunungan ketika YogYES menelusuri tepi embung. Dari jarak sedekat ini dapat terlihat lapisan tipis geo membran yang digunakan dalam teknik pembuatan Embung Batara Sriten. Karena lapisan tipis yang menyerupai plastik hitam inilah, Embung Batara Sriten tak digunakan untuk memelihara ikan. Sebab keberadaan ikan-ikan akan merusak lapisan tipisnya. Hingga akhirnya Embung Batara Sriten hanya dihuni oleh berudu-berudu yang terlihat asyik berenang di air yang berwarna biru kehijauan.
Menikmati indahnya panorama Embung Batara Sriten bisa dilakukan dalam berbagai cara. Seperti duduk-duduk di gazebo-gazebo atau pendopo di sekitar embung sambil merasakan hembusan angin yang tetap dingin, meskipun matahari sedang bersinar penuh semangat. Bisa juga sambil menyesap segarnya segelas es teh atau nikmatnya secangkir kopi tubruk di warung-warung kaki lima yang tak jauh dari embung. Mencoba teduhnya naungan pohon ikonik di Embung Batara Sriten, dalam ayunan hammock seperti yang YogYES lakukan pun menjadi salah satu pilihan menyenangkan.
Sementara yang lain masih terpesona dengan keindahan panorama telaga buatan serta terbuai sejuknya udara pegunungan, dataran yang lebih tinggi di sisi timur menggoda saya untuk mengeksplorasi. Puncak Tugu Magir, begitulah puncak di sisi timur ini disebut. Puncak tertinggi di Pegunungan Baturagung Utara sekaligus puncak tertinggi di Kabupaten Gunungkidul. Di sinilah tempat para penjelajah dirgantara mencoba mengembangkan parasut paralayang dari ketinggian 859 Mdpl. Di tempat ini pula terdapat makam tiban yang dipercaya penduduk setempat sebagai petilasan Syeh Wali Jati, seorang kerabat Sultan pada masanya.
Puncak Tugu Magir menyuguhkan pemandangan 360 derajat wilayah-wilayah di sekitarnya yang berlokasi lebih rendah. Sejauh mata memandang dapat terlihat landscape Kota Klaten dengan Rawa Jombor, Kota Jogja dengan Merapi nan gagah, deretan pegunungan Gunungkidul hingga berlanjut ke wilayah Wonogiri yang tertutup kabut tipis. Dari puncak ini pula kita bisa menyaksikan cahaya pertama matahari mengawali hari, juga saat-saat ia kembali pulang ke peraduan. YogYES berkunjung ketika cuaca cukup cerah lewat tengah hari, sehingga kami tak dapat menyaksikan saat-saat matahari muncul dari balik kabut tipis yang seolah seperti awan-awan berarakan. Namun YogYES mendapat kesempatan untuk menyaksikan saat-saat ia perlahan mulai menghilang, menyelinap di balik cakrawala setelah seharian bersinar cukup garang.
Ketika kami beranjak menuruni Puncak Tugu Magir dan mencapai tepi embung, langit sudah semakin gelap meskipun sisa-sisa semburat merah masih terlukis di langit barat. Suara adzan maghrib mulai terdengar bersahutan di kejauhan, sebagai tanda sudah saatnya kami pulang. Seperti beberapa orang yang sama-sama tak ada niatan untuk camping di kawasan Embung Batara Sriten. Perjalanan pulang pun sama menegangkannya seperti saat kami datang, menyusuri jalanan menurun curam dengan penerangan yang terbatas dari lampu kendaraan. Rem kendaraan harus dipastikan dalam keadaan optimal saat menuruni jalanan pulang, terutama bagi pengguna kendaraan matic yang sebenarnya tak dianjurkan untuk dipergunakan menuju Embung Batara Sriten. Tak adanya engine brake pada motor matic membuat pengemudi hanya bisa mengandalkan rem, sehingga lebih mudah membuat motor matic mengalami over heating pada disc brake. Rasa lega baru memenuhi rongga dada saat roda-roda kendaraan kami telah melaju di jalanan mulus beraspal, di saat langit sudah benar-benar pekat dengan pendar cahaya bulan nan pucat.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/embung-batara-sriten/

AIR TERJUN LEPO di Pelosok Dlingo

AIR TERJUN LEPO  di Pelosok Dlingo

Pokoh 1, Dlingo, Bantul, Yogyakarta, Indonesia
Ledok Pokoh menjadi destinasi baru berwisata seru. Serupa Erawan Falls di Thailand, Air Terjun Lepo memiliki 3 air terjun dan 4 kolam alami yang bisa digunakan untuk berenang atau sekedar bermain air hingga lupa waktu.
Cahaya matahari hanya bisa mengintip dari sela-sela pepohonan yang masih rimbun di musim peralihan ketika YogYES sampai di Dusun Pokoh 1, lokasi Air Terjun Lepo berada. Lepo merupakan kependekan dari Ledok Pokoh yang berarti lembah di Dusun Pokoh. Mengikuti jalanan menurun dan bersemen, akhirnya kami sampai di lokasi air terjun sekaligus pemandian alami di pelosok Dlingo ini. Terlihat beberapa remaja dan anak-anak asyik berenang dengan pelampung sambil bercanda dan sesekali melompat dari batu besar di tepi kolam. Tak ingin mengganggu keasyikan mereka, kami berjalan menuju kolam di bagian bawah yang lebih sepi.
Air terjun Lepo memang tak hanya memiliki satu kolam alami untuk berenang dan bermain air. Sekilas Lepo sangat mirip dengan Erawan Falls di Erawan National Park, Thailand. Ada 4 tingkat kolam alami yang dihubungkan oleh 3 air terjun di tempat wisata yang mulai dikembangkan tahun 2013 ini. Masing-masing kolam alami memiliki kedalaman yang beragam. Kolam pertama yang kami lihat ketika sampai tempat wisata ini kedalamannya mencapai 2 meter. Di kolam inilah remaja maupun orang dewasa biasanya berenang.
Menyusuri jalan setapak dan tangga batu di sisi air terjun, YogYES sampai di tingkatan kolam kedua. Kolam yang paling luas ini kedalamannya hanya sebatas pinggang orang dewasa, sehingga lebih aman jika anak-anak bermain air di kolam ini. Meskipun tak jarang anak-anak memilih berenang di kolam pertama. Kolam kedua ini dikelilingi oleh tebing-tebing batu yang tersusun eksotis. Sebuah titian batu dan selokan kecil menambah kecantikannya. Ceruk batu di salah satu sisi kolam menjadi spot terbaik menikmati air terjun di tingkat ini. Tampak beberapa remaja asyik memanfaatkan ceruk batu ini untuk ber-groufie. Sedangkan sebagian lainnya lebih memilih bermain air di dekat air terjun.
Tingkat ketiga adalah kolam yang paling dangkal, hingga bagian dasarnya yang tertutup endapan kapur pun terlihat dari permukaan air. YogYES kembali menyusuri jalan setapak dan tangga-tangga batu untuk sampai di kolam ketiga. Bagian yang menarik di kolam ketiga adalah tebing-tebing batu di sekitar air terjun yang berbentuk balok, seolah sengaja dipotong oleh tangan-tangan manusia. Karena tak ada persiapan baju ganti, kami harus puas hanya bermain air di kolam yang kedalamannya hanya mencapai lutut orang dewasa ini. Padahal, sejak pertama kali melihat warna turquoise yang mengisi kolam-kolam Air Terjun Lepo, kami sudah tak sabar untuk menceburkan diri ke dalam segarnya air. Tak berhenti di kolam ketiga, air terus mengalir ke kolam keempat sekaligus kolam terakhir. Tingkatan ini kira-kira sama dalamnya dengan kolam pertama namun jauh lebih sempit.
Sejuknya udara pegunungan dan keseruan bermain air telah menyihir kami hingga lupa kalau perut sudah mulai berdendang. Untungnya di sekitar Air Terjun Lepo sudah banyak warung-warung makan sederhana yang menyajikan beragam menu. Selain warung-warung makan, pengelola tempat wisata ini juga menyediakan kamar mandi, aula sederhana serta persewaan pelampung dan tikar. Serunya, untuk menikmati kecantikan Air Terjun Lepo, kita hanya perlu memberikan retribusi seikhlasnya serta tetap menjaga kebersihan dan keindahannya.


SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/air-terjun-lepo/

PEMANDIAN TIRTA BUDI Blue Lagoon-nya Sleman

PEMANDIAN TIRTA BUDI
Blue Lagoon-nya Sleman

Desa Dalem, Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, Indonesia
Backflip dan byur! Dari jauh, beberapa anak tampak melakukan atraksi ini berkali-kali. Mereka asyik bermain di sebuah pemandian di tengah desa yang airnya jernih kebiruan. Pemandian itu bernama Tirta Budi, yang dikenal sebagai Blue Lagoon-nya Sleman.
Sudah sejak berpuluh-puluh tahun silam, warga Desa Dalem, Widodomartani hidup berkelimpahan air. Tiga buah mata air yang tak pernah kering menjadi tumpuan hidup mereka, Sendang Wadon (putri), Belik Kluwih dan Sendang Lanang (putra). Ketiga sendang tersebut berada di daerah aliran Kali Tepus. Sendang Wadon yang merupakan tempat pemandian para wanita, berada di dalam sebuah bilik dan berupa kolam kecil. Sementara itu, Belik Kluwih dan Sendang Lanang hadir dalam bentuk pancuran dengan air yang berasal dari dinding tepi kali. Air Belik Kluwih berkumpul dan membentuk sebuah kedung, sementara itu Sendang Lanang membentuk kolam kecil. Kedung inilah yang akhirnya dijuluki sebagai Blue Lagoon.
Sebetulnya, nama resmi pemandian ini adalah Pemandian Tirta Budi. Namun, anak-anak muda sudah terlanjur mengenalnya dengan nama Blue Lagoon lantaran airnya yang jernih dan biru. Meskipun mungil dan jauh berbeda dengan Blue Lagoon yang ada di Iceland, pemandian ini tetap saja unik dan mampu menarik perhatian banyak orang. Sehingga tak heran bila pemandian ini jadi kondang seantero Jogja dan ramai dikunjungi terutama ketika akhir pekan dan hari libur.
Untuk mencapai Pemandian Tirta Budi ini tidaklah sulit. Jika kita datang dari arah Jogja kota, langsung saja arahkan kendaraan ke Jalan Kaliurang. Sesampainya di kilometer 13, kita akan menemukan pertigaan Jalan Raya Besi-Jangkang di sebelah kanan jalan. Belok dan ikuti saja jalan raya ini hingga sampai di Pasar Jangkang. Dari pertigaan Pasar Jangkang, ambil arah kanan sekitar 100 meter dan ikuti petunjuk arahnya. Maka kita akan sampai di Blue Lagoon ini.
Pada musim penghujan, kedung ini akan menyatu dengan aliran air Kali Tepus yang mengakibatkan efek birunya menghilang. Meskipun demikian, tak perlu berkecil hati, kita tetap bisa berwisata air di sini. Pinjam saja pelampung dan ban yang disewakan oleh Pokdarwis Blue Lagoon dan cobalah meluncur dari sebuah bendungan kecil di ujung kali. Menjajal terapi pijat dari pancuran tinggi di sebelah Sendang Lanang pun tak kalah menariknya. Arahkan punggung atau bagian tubuh lain yang terasa pegal dan biarkan air yang memancur memijat kita.
Lelah bermain air, menikmati nasi kucing dan teh hangat sambil bersantai di gazebo-gazebo bambu karya warga sekitar menjadi pilihan yang lebih menyenangkan dibandingkan langsung pulang. Suara gemericik air, suara cicit burung dan angin yang menggesek daun-daun bambu adalah melodi alam yang mungkin sudah jarang ditemukan. Jika beruntung, kita juga dapat melihat anak-anak kecil setempat "beratraksi" ketika menceburkan diri ke air. Mereka terkadang dengan spontan melakukan gerakan backflip dan tak jarang pula berenang sambil berlomba mencari dan mengambil kelereng yang dilemparkan ke dalam sungai.
Ketika berkunjung ke Blue Lagoon, sebenarnya tak hanya sensasi segarnya bermain air dan berwisata sungai saja yang dapat kita nikmati. Pasalnya, Desa Dalem yang kini juga dikenal dengan nama Desa Wisata Blue Lagoon ini pun memberi kesempatan kita untuk melihat lebih dekat kehidupan masyarakat di sekitarnya. Jadi, jika bosan dengan suasana kota, coba saja untuk live in di sini dan berbaur bersama warga. Tinggal di homestay, mencicipi sego wiwit, es dung-dung hingga belajar membatik pasti menyenangkan.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/pemandian-tirta-budi/

HUTAN PINUS MANGUNAN
Berburu Foto di Tengah Ketenangan

Dlingo, Mangunan, Bantul, Yogyakarta, Indonesia
Hutan Pinus Mangunan memang populer sebagai lokasi hunting foto bahkan pre-wedding. Deretan pinus yang tumbuh subur teratur tak kalah cantik dengan hutan-hutan yang sering dijadikan lokasi syuting film di luar negeri.
Jogja di pagi hari tampak lengang, tanpa banyak kendaraan berlalu-lalang. Saat matahari masih bersinar malu-malu dan sebagian orang lebih memilih bergelung di dalam selimut, beberapa anak muda terlihat bersemangat mengayuh sepeda di jalanan perbukitan Dlingo yang naik turun dan mengular. Tanpa bersusah payah mengucurkan peluh mengayuh sepeda, YogYES pun melalui jalanan serupa pagi ini. Sebuah tanah lapang di tepi jalan menjadi tempat pemberhentian kami. Berseberangan dengan tempat kami mematikan mesin kendaraan, deretan pohon pinus menjulang memenuhi pandangan. Terbayang jika cuaca sedang berkabut, maka suasana hutan-hutan Pacific Northwest dapat dinikmati di Jogja.
Hutan Pinus Mangunan, begitulah bagian dari hutan di kawasan RPH (Resort Pengelolaan Hutan) Mangunan yang ditumbuhi tanaman Pinus Merkusii ini disebut. Lokasinya yang bisa ditempuh searah dengan situs makam Raja-Raja Imogiri membuat YogYES dan banyak orang keliru menyebutnya menjadi Hutan Pinus Imogiri. Padahal secara administratif hutan pinus ini tidak termasuk kawasan Imogiri.
Sebelum menjadi salah satu destinasi wisata, hutan di kawasan Mangunan adalah sebuah tanah tandus yang kemudian direboisasi. Tak hanya pinus, jenis pohon lain seperti mahoni, akasia, kemiri dan kayu putih juga ditanam di lahan yang luasnya kurang lebih 500 Ha ini. Kini kawasan Mangunan, terutama bagian yang ditanami pohon pinus tak hanya berfungsi sebagai hutan lindung namun juga dikelola sebagai salah satu tujuan wisata. Tak hanya suasana hutan nan asri yang menarik perhatian banyak wisatawan, keberadaan sumber mata air Bengkung yang dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai lokasi pertapaan Sultan Agung Hanyakrakusuma pun menarik para peziarah untuk datang berkunjung. Untuk menemukan situs mata air yang kemudian dibangun pemerintah Belanda pada tahun 1925 hingga 1930 ini ada beberapa jalan yang bisa ditempuh, bisa dengan trekking dari tempat parkir menembus hutan yang rapat mengikuti jalur outbond Watu Abang atau jalan melingkar yang lebih jauh namun bisa ditempuh dengan sepeda atau sepeda motor.
Ketika kami menjejakkan kaki di tanah yang sebagian besar tertutup daun pinus kering bak permadani, sinar matahari semakin menanjak tinggi dan terlihat mulai mengintip dari sela-sela batang pinus. Sinarnya yang menghangatkan mau tak mau mengusir dingin yang menemani semenjak kami datang. Celotehan segerombolan anak muda yang diselingi dengan tawa mulai mengisi keheningan yang tadinya hanya berisi suara gesekan dedaunan. Tak perlu waktu lama, beberapa dari mereka mulai asyik berpose dan mengabadikan gaya menggunakan kamera. Beratraksi di atas batang-batang pinus yang telah bertransformasi menjadi bangku-bangu sederhana atau duduk di ayunan dengan pose manja.
Suasana hutan pinus yang selalu disebut-sebut seperti hutan di Forks atau kota-kota kecil lain di Evergreen State dalam film Hollywood menjadi daya tarik tersendiri bagi para pencinta fotografi dan penggila selfie. Hingga tak heran hutan pinus ini sering didatangi untuk keperluan fotografi termasuk pre-wedding. Selain view deretan pohon pinus yang mempercantik background foto, ada filosofi menarik tentang pohon pinus sebagai lambang cinta orang Korea. Menurut mereka, pohon pinus yang berbatang tegak lurus adalah simbol cinta yang lurus dan tidak bercabang-cabang. Sedangkan daun pinus yang selalu hijau diibaratkan sebagai cinta yang tak pernah berakhir, Everlasting love
Sementara orang-orang heboh mengabadikan setiap momen dalam jepretan kamera, saya memilih untuk menikmati suasana hutan dalam ayunan hammock di bawah kanopi dedaunan pinus. Gemeresik gesekan daun dan ranting menjadi simfoni alam yang mampu melelapkan semua orang ke dalam khayalan. Suasana tenang di Hutan Pinus Mangunan mampu melenyapkan semua beban serta kerumitan yang memenuhi lorong-lorong pikiran.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/mangunan-pine-forest/

PUNCAK BECICI Senja yang Tersembunyi di Balik Deretan Pinus Merkusii

PUNCAK BECICI
Senja yang Tersembunyi di Balik Deretan Pinus Merkusii

Dusun Gunung Cilik, Desa Gunung Mutuk, Dlingo, Bantul, Yogyakarta, Indonesia
Tersembunyi di balik deretan tanaman pinus merkusii yang tumbuh menjulang, langit senja di Bantul terlihat begitu mempesona. Dan ketika gelap datang, panorama lautan bintang-bintang imitasi pun membuat siapa saja yang memandang berdecak penuh kekaguman.
Saat YogYES memacu kendaraan ke arah selatan Jogja, sengatan matahari masih terasa membakar kulit meskipun posisinya mulai bergeser ke arah barat. Setelah memasuki kawasan Desa Muntuk, barulah kegarangannya mulai tergantikan dengan teduh dan sejuknya udara perbukitan. Pemandangan lahan-lahan terasering yang kemudian berlanjut dengan deretan pohon-pohon pinus menemani sisa perjalanan YogYES ke tempat tujuan hingga kami mendapat sambutan berupa gapura selamat datang. Tak jauh dari gapura, beberapa gubuk sederhana tampak memenuhi salah satu bahu jalan, berderet rapi berdampingan. Di gubuk-gubuk sederhana itulah warga setempat menjamu para pengunjung kawasan wisata Puncak Pinus Becici dengan minuman dan makanan ringan yang dijual.
Roda-roda kendaraan kami masih melaju hingga ujung jalan bersemen, tempat kendaraan-kendaraan pengunjung lain diparkir. Selanjutnya kami masih harus berjalan melalui jalan setapak masuk ke dalam bagian hutan pinus yang lebih rapat. Menurut salah satu anggota pokdarwis setempat, hutan pinus yang dikenal sebagai daerah Hutan Sudimoro 1 atau Becici Asri ini masih merupakan bagian dari Hutan Lindung di bawah pengelolaan RPH Mangunan. Berbeda dengan Hutan Pinus Mangunan yang lebih dulu populer sebagai kawasan wisata, Becici Asri awalnya hanya dikelola sebagai hutan produksi penghasil getah pinus untuk bahan dasar terpentin dan gondorukem. Namun panorama dari bukit di bagian baratlah yang membuat orang-orang berdatangan untuk menikmati keindahannya hingga kawasan ini pun berubah menjadi destinasi wisata.
Nama Becici yang terdengar asing di telinga pun sebenarnya memiliki cerita sejarah tersendiri. Becici berasal dari gabungan kata "ambeg" yang berarti berdiam diri dan kata suci, dua kata yang merujuk pada cerita turun temurun kepercayaan masyarakat setempat. Cerita tentang putra pendiri Desa Muntuk yang bertapa di bukit di bagian barat hutan pinus dan kemudian ingin disemayamkan di bukit yang sama ketika meninggal dunia. Terlepas dari benar tidaknya cerita tutur ini, di puncak Bukit Becici memang ditemukan sebuah petilasan menyerupai makam.
Suara daun pinus yang bergesekan diterpa angin menjadi melodi alam yang menemani perjalanan kami menembus hutan pinus. Hanya perlu waktu sekitar lima belas menit dari parkiran untuk mencapai puncak Bukit Becici. Tak hanya barisan pohon-pohon pinus tinggi menjulang, kami juga menemui bangku-bangku dari batang pinus, ayunan kayu, beberapa gazebo sederhana dan gardu pandang dengan pengamanan ala kadarnya di sepanjang tepi jalan setapak. Terdapat pula area datar yang lumayan luas untuk bermain serta camping ground dengan jarak pohon pinus yang tak terlalu rapat. Semakin dekat dengan puncak bukit, jarak pohon-pohon pinus ini pun semakin renggang. Hingga matahari yang tadinya terhalang daun-daun pinus pun kembali menampakkan diri, semakin condong ke arah barat namun masih bersinar penuh semangat. Menyilaukan setiap mata yang mencoba menatapnya.
Puncak Becici memang spot yang tepat untuk menikmati saat-saat matahari terbenam karena bukit ini menghadap ke arah barat. Tak heran ketika kami tiba di puncak, sudah banyak orang yang menunggu momen-momen pergantian siang menuju malam. Ada yang terlihat asik berfoto di atas gardu pandang. Beberapa lainnya tampak berfoto di tepi tebing dekat dengan pagar besi pengaman. Sementara ada pula yang terlihat duduk-duduk di gazebo dan bangku-bangku dari kayu pinus yang tumbang. Mungkin menunggu giliran untuk berpose di atas gardu pandang. Sebuah ayunan tak berpenghuni pun menjadi pilihan saya untuk menikmati landscape yang disuguhkan sambil menunggu kesempatan menaiki gardu pandang.
Matahari semakin rendah ketika tiba giliran saya mencoba menaiki gardu pandang. Dengan ekstra hati-hati karena tak ada perlengkapan semacam tali pengaman, saya akhirnya bisa duduk di atas papan yang dibangun pada sebatang pohon pinus ini. Ada sensasi menggelitik ketika tempat yang saya pijak ini sedikit bergoyang diterpa angin. Namun tak ingin menyia-nyiakan waktu menunggu giliran yang lumayan panjang, saya mencoba melawan rasa takut dengan bertahan sedikit lebih lama duduk di atas gardu pandang hingga langit semakin gelap dan matahari pun mulai menyelimuti dirinya dengan awan-awan lembut di batas cakrawala. Tak ingin buru-buru beranjak, kami menunggu hingga langit benar-benar gelap, menunggu hingga bintang-bintang imitasi mulai bermunculan dan berpendar cantik mengisi bidang-bidang gelap di bawah kami.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/puncak-becici/

PANTAI PARANGKUSUMO Pantai Cinta di Yogyakarta

PANTAI PARANGKUSUMO
Pantai Cinta di Yogyakarta

Parangkusumo, Parangtritis, Bantul, Yogyakarta, Indonesia
Pantai Parangkusumo mengajak anda merasakan pengalaman spiritual tak terlupakan, melawati Batu Cinta sekaligus mengenang pertemuan Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul.
Nuansa sakral akan segera terasa sesaat setelah memasuki kompleks Pantai Parangkusumo, pantai yang terletak 30 km dari pusat kota Yogyakarta dan diyakini sebagai pintu gerbang masuk ke istana laut selatan. Wangi kembang setaman akan segera tercium ketika melewati deretan penjual bunga yang dengan mudah dijumpai, berpadu dengan wangi kemenyan yang dibakar sebagai salah satu bahan sesajen. Sebuah nuansa yang jarang ditemui di pantai lain.
Kesakralan semakin terasa ketika anda melihat taburan kembang setaman dan serangkaian sesajen di Batu Cinta yang terletak di dalam Puri Cepuri, tempat Panembahan senopati bertemu dengan Ratu Kidul dan membuat perjanjian. Senopati kala itu duduk bertapa di batu yang berukuran lebih besar di sebelah utara sementara Ratu Kidul menghampiri dan duduk di batu yang lebih kecil di sebelah selatan.
Pertemuan Senopati dengan Ratu Kidul itu mempunyai rangkaian cerita yang unik dan berpengaruh terhadap hubungan Kraton Yogyakarta dengan Kraton Bale Sokodhomas yang dikuasai Ratu Kidul. Semuanya bermula ketika Senopati melakukan tapa ngeli untuk menyempurnakan kesaktian. Sampai di saat tertentu pertapaan, tiba-tiba di pantai terjadi badai, pohon-pohon di tepian tercabut akarnya, air laut mendidih dan ikan-ikan terlempar ke daratan.
Kejadian itu membuat Ratu Kidul menampakkan diri ke permukaan lautan, menemui Senopati dan akhirnya jatuh cinta. Senopati mengungkapkan keinginannya agar dapat memerintah Mataram dan memohon bantuan Ratu Kidul. Sang Ratu akhirnya menyanggupi permintaan itu dengan syarat Senopati dan seluruh keturunannya mau menjadi suami Ratu Kidul. Senopati akhirnya setuju dengan syarat perkawinan itu tidak menghasilkan anak.
Perjanjian itu membuat Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pecahan Mataram memiliki hubungan erat dengan istana laut selatan. Buktinya adalah dilaksanakannya upacara labuhan alit setiap tahun sebagai bentuk persembahan. Salah satu bagian dari prosesi labuhan, yaitu penguburan potongan kuku dan rambut serta pakaian Sultan berlangsung dalam areal Puri Cepuri. Anda bisa melihat kalender wisata Yogyakarta di YogYES.COM untuk bisa melihat proses labuhan ini.
Tapa Senopati yang membuahkan hasil juga membuat banyak orang percaya bahwa segala jenis permintaan akan terkabul bila mau memanjatkan permohonan di dekat Batu Cinta. Tak heran, ratusan orang tak terbatas kelas dan agama kerap mendatangi kompleks ini pada hari-hari yang dianggap sakral. Ziarah ke Batu Cinta diyakini juga dapat membantu melepaskan beban berat yang ada pada diri seseorang dan menumbuhkan kembali semangat hidup.
Selain melawati Batu Cinta dan melihat prosesi labuhan, anda juga bisa berkeliling pantai dengan naik kereta kuda. Anda akan diantar menuju setiap sudut Parangkusumo, dari sisi timur ke barat. Sambil naik kereta kuda, anda dapat menikmati pemandangan hempasan ombak besar dan desau angin yang semilir.
Bila lelah, Parangkusumo memiliki sejumlah warung yang menjajakan makanan. Banyaknya jumlah peziarah membuat wilayah pantai ini hampir selalu ramai dikunjungi, bahkan hingga malam hari. Cukup banyak pula para peziarah yang menginap di pantai ini untuk memanjatkan doa. Bagi anda yang ingin merasakan pengalaman spiritual di Parangkusumo bisa bergabung dengan para peziarah itu untuk bersama berdoa.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/parangkusumo/

PANTAI SEPANJANG Si Pantai Kuta Tempo Doeloe

PANTAI SEPANJANG
Si Pantai Kuta Tempo Doeloe

Desa Kemadang, Tanjungsari, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Tak harus mahal-mahal ke Pantai Kuta di Bali kalau hanya ingin berjemur. Ke Pantai Sepanjang saja sudah bisa berjemur namun dengan suasana yang lebih asri.
Bila ingin bernostalgia menikmati nuansa Pantai Kuta tempo doeloe, Pantai Sepanjang adalah tempat yang tepat. Sepanjang memiliki garis pantai yang panjang, pasir berwarna putih yang masih terjaga, dan ombak yang sedang. Anda tinggal memilih, ingin berjemur di atas pasir menikmati terik matahari, membelah ombak dengan papan selancar, ataupun hanya melihat keindahan pantai. Semuanya bisa Anda nikmati begitu tiba di pantai yang berjarak beberapa kilometer dari Pantai Sundak ini.
Pantai Sepanjang merupakan salah satu pantai yang baru dibuka. Nama "Sepanjang" diberikan karena ciri khas pantai ini yang memiliki garis pantai terpanjang di antara semua pantai di Kabupaten Gunung Kidul. Suasana pantai ini sangat alami. Bibir pantai dihiasi tumbuhan palem dan gubug-gubug beratap daun kering. Karang di wilayah pasang surut pantai pun masih terawat. Hempasan ombak masih memantulkan warna biru menandai air laut yang belum banyak tercemar. Dengan suasana itu, tak salah bila pemerintah daerah maupun investor berencana menjadikan pantai ini sebagai Pantai Kuta kedua.
Suasana alami itulah yang menjadikan Pantai Sepanjang lebih dari Pantai Kuta. Sepanjang tidak menawarkan hal-hal klise seperti beach cafe dan cottage mewah, tetapi sebuah kedekatan dengan alam. Buktinya, anda akan tetap bisa menggeledah karang-karang untuk menemukan berbagai jenis kerang-kerangan (Mollusca) dan bintang laut (Echinodermata). Anda juga tetap bisa menemukan limpet di batuan sekitar pantai dan mencerabut rumput laut yang tertanam. Tentu dengan berhati-hati agar tak tertancap duri landak laut. Jelas kan, Anda tak akan menemuinya di Pantai Kuta?
Kebudayaan masyarakat pantai juga masih sangat kental. Tak ada bangunan permanen di pinggir pantai, hanya beberapa gubug yang ditinggali oleh masyarakat setempat. Masih di pinggir pantai, terdapat ladang yang digunakan penduduk untuk menanam kedelai. Pantai yang landai dan langsung diterpa ombak menyebabkan tak ada penduduk yang melaut. Bila melihat ke belakang, akan tampak dua buah bukit yang bagian lerengnya digunakan penduduk setempat untuk menanam jagung sebagai sumber makanan pokok. Tanah di puncak bukit tersebut telah dibeli oleh investor untuk dibangun sebuah villa yang harapannya bisa digunakan sebagai penginapan wisatawan.
Sepanjang juga memiliki situs bersejarah, yaitu Banyusepuh. "Banyu" berarti air dan "sepuh" berarti basuh atau membasuh. Sesuai namanya, tempat yang tadinya berupa mata air ini digunakan untuk membasuh atau memandikan. Penggunanya konon adalah para wali yang biasanya membasuh pusakanya. Situs ini tak akan diketahui keberadaannya bila tak bertanya ke penduduk setempat. Ketika YogYES melihat, situs ini hanya tinggal kubangan kering yang ditumbuhi tanaman liar.
Capek berkeliling, maka istirahatlah. Gubug-gubug yang berada di pinggir pantai biasanya digunakan penduduk untuk menjual makanan dan minuman yang sekiranya cukup untuk melepas lapar dan dahaga. Disediakan pula lincak (tempat duduk yang disusun dari bambu) untuk tempat ngobrol dan menikmati semilirnya angin pantai. YogYES sempat merasakan betapa sejuknya berteduh di bawah gubug. Kalau senja tiba, tengoklah ke barat untuk menyaksikan kepergian matahari. Walau kini belum ada villa, namun penduduk setempat cukup terbuka bila ada yang menginap.
Soal oleh-oleh jika pulang, pengunjung tak perlu berpusing-pusing mencari. Bukankah oleh-oleh tak harus selalu berbentuk makanan? Beberapa penduduk yang tinggal beberapa kilometer dari pantai sudah membuat kerajinan tangan berbahan dasar cangkang kerang-kerangan yang kemudian dipasarkan oleh penduduk pantai. Meski tak sekomersil di Malaysia, kerajinan tangan yang dibuat oleh penduduk cukup bervariasi. Ada kreasi berbentuk kereta kencana, orang-orangan, barong, jepitan, ataupun yang hanya sekedar dikeringkan dan dipendam di dalam pasir. Beberapa di antaranya dilukis sederhana menggunakan cat.
Harga kerajinan yang murah tak berarti bernilai rendah. Kerajinan berbahan dasar Mollusca sebenarnya memiliki nilai historis yang besar. Jika pernah membaca buku ataupun artikel tentang Conchology, Anda akan mengetahui bahwa kerajinan tersebut adalah bentuk kebudayaan maha tinggi yang berkembang di masyarakat pesisir. Orang-orang Hawaii di Amerika Serikat, Kepulauan Melanesia, atapun Maori di Selandia Baru mengembangkan kerajinan serupa. Mereka merangkai cangkang kerang-kerangan menjadi kalung, rok, ikat pinggang, hingga memahat dan melukisnya menjadi seni rupa maha dahsyat.
Apabila uang di dompet sedang mepet, pengunjung dapat mengkoleksi cangkang yang ada di pinggiran pantai. Benda kecil ini dapat menjadi hadiah menarik bila diproses lebih lanjut. Ambil beberapa buah cangkang yang masih utuh kemudian masukkan dalam kantong plastik. Sesampainya di rumah, belilah tembakau atau mint dan campurkan dengan alkohol 90%. Setelah direndam sehari semalam, ambil cangkang dan gosok perlahan. Langkah itu akan menghilangkan lapisan kapur pada cangkang sehingga yang tinggal hanya lapisan tengahnya saja (lapisan prismatik). Gosokan akan membuat warna cangkang lebih cemerlang.
Nah, sangat menarik bukan berwisata di tempat Sepanjang? Jadi, tunggu apa lagi? Anda tinggal melaju dengan sepeda motor atau menginjak pedal gas mobil Anda. Tak usah menggubris naik turunnya medan ataupun jalan bebatuan menuju pantai ini sebab keindahan alam dan budaya yang akan dinikmati jauh lebih dari pengorbanan Anda. Percayalah, semua akan terbayar dan Anda pun akan berkata seperti salah seorang turis asal Belanda yang ditemui YogYES, "Ini betul-betul si Kuta baru. Banyak pantai di sini dan Bali sudah sangat turistik, tapi di sini pantai tenang. Sangat menyenangkan."

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/sepanjang/

PANTAI SUNDAK Perkelahian Asu dan Landak yang Menuai Berkah

PANTAI SUNDAK
Perkelahian Asu dan Landak yang Menuai Berkah

Desa Sidoharjo, Tepus, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Bukan cuma ombak saja yang bisa dinikmati ketika ke pantai, tetapi juga bukti sejarah dan berkah yang ada; misalnya gua karang yang menjadi tempat perkelahian asu (anjing) dan landak.
Pantai Sundak tak hanya memiliki pemandangan alam yang mengasyikkan, tetapi juga menyimpan cerita. Nama Sundak ternyata mengalami evolusi yang bukti-buktinya bisa dilacak secara geologis.
Agar tahu bagaimana evolusinya, maka pengunjung mesti tahu dulu kondisi pinggiran Pantai Sundak dulu dan kini. Di bagian pinggir barat pantai ketika YogYES berkunjung terdapat masjid dan ruang kosong yang sekarang dimanfaatkan sebagai tempat parkir. Sementara di sebelah timur terdapat gua yang terbentuk dari batu karang berketinggian kurang lebih 12 meter. Memasuki gua, akan dijumpai sumur alami tempat penduduk mendapatkan air tawar.
Wilayah yang diuraikan di atas sebelum tahun 1930 masih terendam lautan. Konon, air sampai ke wilayah yang kini dibangun masjid, batu karang yang membentuk gua pun masih terendam air. Seiring proses geologi di pantai selatan, permukaan laut menyusut dan air lebih menjorok ke laut. Batu karang dan wilayah di dekat masjid akhirnya menjadi daratan baru yang kemudian dimanfaatkan penduduk pantai untuk aktivitas ekonominya hingga saat ini.
Ada fenomena alam unik akibat aktivitas tersebut yang akhirnya menjadi titik tolak penamaan pantai ini. Jika musim hujan tiba, banyak air dari daratan yang mengalir menuju lautan. Akibatnya, dataran di sebelah timur pantai membelah sehingga membentuk bentukan seperti sungai. Air yang mengalir seperti mbedah (membelah) pasir. Bila kemarau datang, belahan itu menghilang dan seiring dengannya air laut datang membawa pasir. Fenomena alam inilah yang menyebabkan nama pantai menjadi Wedibedah (pasir yang terbelah). Saat YogYES datang wedi tengah tidak terbelah.
Perubahan nama berlangsung beberapa puluh tahun kemudian. Sekitar tahun 1976, ada sebuah kejadian menarik. Suatu siang, seekor anjing sedang berlarian di daerah pantai dan memasuki gua karang bertemu dengan seekor landak laut. Karena lapar, si anjing bermaksud memakan landak laut itu tetapi si landak menghindar. Terjadilah sebuah perkelahian yang akhirnya dimenangkan si anjing dengan berhasil memakan setengah tubuh landak laut dan keluar gua dengan rasa bangga. Perbuatan si anjing diketahui pemiliknya, bernama Arjasangku, yang melihat setengah tubuh landak laut di mulut anjing. Mengecek ke dalam gua, ternyata pemilik menemukan setengah tubuh landak laut yang tersisa. Nah, sejak itu, nama Wedibedah berubah menjadi Sundak, singkatan dari asu (anjing) dan landak.
Tak dinyana, perkelahian itu membawa berkah bagi penduduk setempat. Setelah selama puluhan tahun kekurangan air, akhirnya penduduk menemukan mata air. Awalnya, si pemilik anjing heran karena anjingnya keluar gua dengan basah kuyup. Hipotesanya, di gua tersebut terdapat air dan anjingnya sempat tercebur ketika mengejar landak. Setelah mencoba menyelidiki dengan beberapa warga, ternyata perkiraan tersebut benar. Jadilah kini, air dalam gua dimanfaatkan untuk keperluan hidup penduduk. Dari dalam gua, kini dipasang pipa untuk menghubungkan dengan penduduk. Temuan mata air ini mengobati kekecewaan penduduk karena sumur yang dibangun sebelumnya tergenang air laut.
Nah, bila kondisi tahun 1930 saja seperti yang dikatakan di atas, dapat diperkirakan kondisi ratusan tahun sebelumnya. Tentu sangat banyak organisme laut yang memanfaatkan bagian bawah karang yang kini menjadi gua dan wilayah yang kini menjadi daratan. Karenanya, banyak arkeolog percaya bahwa sebagai konsekuensi dari proses geologis yang ada, banyak organisme laut yang tertinggal dan kini tertimbun menjadi fosil. Soal fosil apa yang ditemukan, memang hingga kini belum banyak penelitian yang mengungkapkan.
Selain menawarkan saksi bisu sejarahnya, Sundak juga menawarkan suasana malam yang menyenangkan. Anda bisa menikmati angin malam dan bulan sambil memesan ikan mentah untuk dibakar beramai-ramai bersama teman. Dengan membayar beberapa ribu, Anda dapat membeli kayu untuk bahan bakar. Kalau malas, pesan saja yang matang sehingga siap santap. Yang jelas, tak perlu bingung mencari tempat menginap. Pengunjung bisa tidur di mana saja, mendirikan tenda, atau tidur saja di bangku warung yang kalau malam tak terpakai. Kegelapan tak perlu diributkan, bukankah membosankan jika hidup terus terang benderang?
Kalau mau, berinteraksi dengan penduduk bisa menjadi suatu pencerahan. Anda bisa mengetahui bagaimana penduduk hidup, kebudayaan mereka, dan tentu saja orang baru yang mungkin saja mampu mengubah pandangan hidup anda. Menemui Mbah Tugiman yang biasa berjaga di tempat parkir atau Mbah Arjasangku bisa jadi pilihan. Mereka merupakan salah satu sesepuh di pantai Sundak. Bercakap dengan mereka membuat anda tidak sekedar menyaksikan bukti sejarah tetapi juga mendapat cerita dari orang yang menyaksikan bagaimana sejarah terukir. Datanglah, semua yang di sana sudah menunggu!

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/sundak/

PANTAI NGRENEHAN

PANTAI NGRENEHAN

Desa Kanigoro, Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Di Pantai Ngrenehan para wisatawan dapat menyaksikan aktivitas kegiatan nelayan dan menikmati ikan siap saji atau membawa ikan segar sebagai oleh-oleh.
Terletak di desa Kanigoro Kecamatan Saptosari kurang lebih 30 km di sebelah selatan kota Wonosari. Suatu pantai berupa teluk yang dikelilingi hamparan perbukitan kapur dan memiliki panorama yang sangat memukau dengan deburan ombak menerpa pasir putih. Para wisatawan dapat menyaksikan aktivitas kegiatan nelayan dan menikmati ikan siap saji atau membawa ikan segar sebagai oleh-oleh.
Masih dalam satu kawasan dengan Pantai Ngrenehan kurang lebih 1 km di sebelah Barat terdapat Pantai Ngobaran dan Pantai Nguyahan. Setiap bulan purnama pada hari raya Nyepi di Pantai Ngobaran di laksanakan upacara Melasti.

Ulasan Wisatawan

Fitur ini untuk menampung ulasan wisatawan, bukan untuk menampung pertanyaan, pemesanan, dll. Mohon hubungi pengelola tempat ini untuk hal-hal tersebut.
Tulis ulasan berdasarkan pengalaman pribadi. Ulasan Anda mungkin membantu traveler lainnya. Isi ulasan sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Peta Lokasi Pantai Ngrenehan

Desa Kanigoro, Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia)
Koordinat GPS:

PANTAI SADENG Mengunjungi Muara Bengawan Solo Purba


PANTAI SADENG
Mengunjungi Muara Bengawan Solo Purba

Girisubo, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Jalur dan muara Bengawan Solo Purba bisa disaksikan bila mengunjungi Pantai Sadeng. Melihat kondisi kini dan membayangkan kondisi masa lalunya, seperti menyaksikan proses evolusi. Mata pun akan memandang takjub.


Dahulu kala Sungai Bengawan Solo mengalir tenang dari hulunya di wilayah utara hingga bermuara di Pantai Sadeng yang kini berada di Kabupaten Gunung Kidul. Namun, empat juta tahun yang silam, sebuah proses geologi terjadi. Lempeng Australia menghujam ke bawah Pulau Jawa, menyebabkan dataran Pulau Jawa perlahan terangkat. Arus sungai akhirnya tak bisa melawan hingga akhirnya aliran pun berbalik ke utara. Jalur semula akhirnya tinggal jejak yang perlahan mengering karena tak ada lagi air yang mengalirinya. Wilayah ini menjadi kaya akan bukit-bukit kapur yang menurut beberapa penelitian, semula merupakan karang-karang yang berada di bawah permukaan laut.
Kini, bekas aliran sungai yang populer lewat lagu keroncong berjudul Bengawan Solo ciptaan Gesang itu menjadi objek wisata menarik. Tak ketinggalan Pantai Sadeng yang menjadi muaranya, selain menjadi objek wisata juga menjadi salah satu pelabuhan perikanan besar di Yogyakarta. Keduanya menjadi jejak geologi yang berharga. Beberapa waktu lalu, sempat diadakan paket wisata menyusuri jalur Bengawan Solo Purba hingga muaranya.
Dalam perjalanan menuju Pantai Sadeng, beberapa ratus meter jalur aliran Bengawan Solo Purba bisa dinikmati pemandangannya. Jalur aliran itu bisa dilihat setelah sampai di dekat plang biru bertuliskan "Girisubo - Ibukota Kecamatan". Berhenti sejenak di pinggir jalan menuju pantai atau berjalan perlahan adalah cara paling tepat untuk menikmati pemandangan bekas aliran ini, sekaligus memberi kesempatan mengabadikannya dengan kamera.
Tampak dua buah perbukitan kapur yang tinggi memanjang mengapit sebuah dataran rendah yang semula adalah jalur aliran. Dataran rendah yang kini menjadi lahan berladang palawija penduduk setempat itu berkelok indah, memanjang sejauh 7 kilometer ke arah utara, hingga wilayah Pracimantoro di Kabupaten Wonogiri. Kelokannya membuat mata tergoda untuk menyusurinya ke utara hingga ke tempat pembalikan aliran sungainya.
Jalur aliran juga bisa disusuri ke arah selatan hingga bekas muaranya di Pantai Sadeng. Menurut penuturan salah seorang nelayan, muara Bengawan Solo Purba berada di pantai sebelah timur, wilayah yang kini termasuk areal pelabuhan perikanan. Meski demikian, penyusuran ke selatan tak akan seindah ke utara, sebab jalan yang menuju ke Pantai Sadeng tidak searah dengan jalur aliran sungai terbesar di Jawa itu.
Bila telah sampai ke pantainya, maka pemandangan berbeda akan dijumpai. Wilayah pantai juga telah mengalami perubahan, seperti jalur aliran yang kini menjadi ladang-ladang penduduk. Pantai Sadeng kini menjadi pelabuhan perikanan di Yogyakarta yang paling maju, terbukti dengan kelengkapan sarana pendukungnya, seperti perahu motor yang berukuran lebih besar, terminal pengisian bahan bakar, rumah pondokan nelayan hingga tempat pelelangan ikan dan koperasi.
Berkembangnya Sadeng sebagai pelabuhan ikan pun punya cerita tersendiri. Sekitar tahun 1983, serombongan nelayan ikan dari Gombong, Jawa Tengah datang ke tempat ini. Mereka menganggap Sadeng sangat berpotensi sebagai tempat melaut. Tantangannya cukup berat, bukan hanya karena ombak laut selatan yang besar, tetapi juga kepercayaan penduduk setempat yang tak memperbolehkan melaut dan wilayah pantai yang konon wingit.
Namun, salah satu nelayan bernama Pairo yang ditemui YogYES, mengungkapkan bahwa nelayan Gombong saat itu berkeyakinan, "Sopo Wae mlebu Sadeng Sedeng". Berarti, siapa saja berani tinggal di Sadeng akan diberi kekuatan untuk hidup. Akhirnya, bertahanlah serombongan nelayan dari Gombong itu, sedikit demi sedikit hingga hasil tangkapan ikan pun terus meningkat dan mereka mampu bertahan hidup.
Kemajuan pun terus dicapai. Tahun 1986, didirikan tempat pelelangan ikan dan dibangun pelabuhan yang dilengkapi mercusuar untuk mendukung aktivitas perikanan. Sekitar tahun 1989, berdiri sebuah koperasi untuk membantu para nelayan. Hingga akhirnya pada tahun 1995, berdiri kantor yang mengurus hasil tangkapan ikan sekaligus pondokan serupa rumah petak yang dikontrakkan untuk para nelayan.
Berkeliling ke penjuru pantai adalah cara untuk menikmati kemajuan perikanan di Sadeng. Akan tampak sekelompok nelayan yang membersihkan perahu, mengangkut ikan dari perahu ke tempat pelelangan, menggiling es batu untuk dimasukkan dalam kotak ikan sebelum didistribusikan, hingga ibu-ibu nelayan yang mengasuh anak-anak di pondokan. Seluruh warga pantai seolah sibuk dengan aktivitas perikanannya.
Selain itu, bisa juga menyusuri bibir pantai di sebelah timur dan menuju gundukan pasir yang berada di dekat mercusuar. Pemandangan laut lepas akan tampak jelas, beserta deburan ombaknya yang besar. Tak seperti pantai di Gunung Kidul umumnya, Sadeng tak banyak memiliki karang-karang raksasa sehingga pandangan mata tak akan terhalang. Kadang, bisa juga disaksikan perahu nelayan yang tengah melaut.
Mengunjungi Sadeng bagaikan menyaksikan sebuah proses evolusi. Selama perjalanan, bisa dikenang evolusi dataran rendah jalur aliran Bengawan Solo Purba dari tempat mengalirnya air hingga menjadi ladang palawija yang produktif. Sementara, mengunjungi pantainya seolah mengenang pantai yang semula muara sungai menjadi daerah sepi dan akhirnya berkembang menjadi pelabuhan perikanan terbesar di Yogyakarta.

SSUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/sadeng/

PANTAI WEDIOMBO Memancing Ikan dari Bukit Karang

PANTAI WEDIOMBO
Memancing Ikan dari Bukit Karang

Jepitu, Girisubo, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia 
Memancing dari bukit karang untuk mendapat ikan besar tentu bukan wisata biasa. Pengalaman itu bisa didapatkan di Pantai Wediombo, bersama pengalaman mencicipi ikan Panjo dan menyaksikan upacara Ngalangi.
Sebuah imajinasi tentang pasir putih maha luas yang memungkinkan mata untuk leluasa meneropong ke berbagai sudut mungkin akan muncul bila mendengar pantai bernama Wediombo (wedi=pasir, ombo=lebar). Namun, sebenarnya pantai Wediombo tak mempunyai hamparan pasir yang luas itu. Bagian barat dan timur pantai diapit oleh bukit karang, membuat hamparan pasir pantai ini tak seluas Parangtritis, Glagah, atau mungkin Kuta.
Penduduk setempat memang mengungkapkan bahwa nama pantai ini yang diberikan oleh nenek moyang tak sesuai dengan keadaannya. Ada yang mengungkapkan, pantai ini lebih pantas menyandang nama Teluk Ombo, sebab keadaan pantai memang menyerupai teluk yang lebar. Terdapat batu karang yang mengapit, air lautnya menjorok ke daratan, namun memiliki luas yang lebih lebar dibanding teluk biasa.
Tapi, di luar soal nama yang kurang tepat itu, Wediombo tetap menyuguhkan pemandangan pantai yang luar biasa. Air lautnya masih biru, tak seperti pantai wisata lainnya yang telah tercemar hingga airnya berwarna hijau. Pasir putihnya masih sangat terjaga, dihiasi cangkang-cangkang yang ditinggalkan kerangnya. Suasana pantai juga sangat tenang, jauh dari riuh wisatawan yang berjemur atau lalu lalang kendaraan. Tempat yang tepat untuk melepas jenuh.
Wediombo terletak di Desa Jepitu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul. Pantai ini sangat mudah dijangkau bila sebelumnya telah datang ke Pantai Siung. Cukup kembali ke pertigaan di Tepus sebelum menuju ke Siung, kemudian belok kanan mengikuti alur jalan hingga menemukan papan petunjuk belok ke kanan untuk menuju Wediombo.
Letak pantai ini jauh lebih ke bawah dibanding daratan sekitarnya. Beberapa puluh anak tangga mesti dituruni dulu sebelum dapat menjangkau pantai dan menikmati keelokan panoramanya. Sambil turun, di kanan kiri dapat dilihat beberapa ladang penduduk setempat, rumah-rumah tinggal dan vegetasi mangrove yang masih tersisa. Lalu lalang penduduk yang membawa rerumputan atau merawat ternak di kandang juga bisa dijumpai.
Selain panorama pantai yang mengagumkan, Wediombo juga menawarkan pengalaman wisata unik, bahkan ekstrim, yaitu memancing di ketinggian bukit karang. Saat ini jenis wisata yang bermula dari kebiasaan memancing penduduk setempat ini tengah digemari oleh pehobi dari kota Yogyakarta dan Wonogiri. Menurut penuturan penduduk setempat pada YogYES, mendapatkan ikan ukuran besar adalah tujuan para pehobi itu.
Bukan hal mudah untuk memancing di bukit karang, sebab letaknya yang jauh dari pantai. Bukit karang itu baru bisa dijangkau setelah berjalan ke arah timur menyusuri bibir pantai, naik turun karang di tepian pantai yang terjal, licin dan kadang dihempas ombak besar, kemudian naik lagi hingga puncak bukit karang yang langsung berhadapan dengan laut lepas yang dalam. Bagi yang telah terbiasa saja, perjalanan menuju bukit karang bisa memakan waktu satu jam.
Namun, hasil yang luar biasa bisa dituai setelah mengalahkan segala rintangan itu. Penduduk setempat mengungkapkan, ikan-ikan berukuran besar sering didapat oleh para turis lokal. Minimal, pemancing akan mendapatkan ikan cucut, atau ikan panjo dalam istilah setempat. Ikan yang panjangnya setara dengan lengan manusia dewasa ini punya 2 jenis, yang berbentuk gilig (silinder) banyak ditemui pada musim kemarau, sementara yang gepeng (pipih) ditemui pada musim hujan.
Untuk memancing, modalnya hanya umpan berupa ikan teri yang bahkan bisa didapatkan di tepian pantai. Tinggal menggunakan pancing atau merentangkan jaring kecil, maka umpan bisa didapat. Murah dan mudah, bukan?
Bagi yang tak cukup punya nyali untuk menuju bukit karang, membeli ikan hasil pancingan mungkin adalah cukup memuaskan. Beberapa warga menawarkan jasa memasak ikan bila ingin mencicipinya segera. Bila tidak, ikan bisa dibawa pulang mentah-mentah, tapi tentu cukup merepotkan.
Paket masakan ikan panjo goreng juga tersedia. Nasi, seekor ikan panjo goreng yang telah diiris kecil beserta sambal mentah dijual sangat murah. Nasinya dihidangkan dalam bakul kecil, sementara sambalnya dalam cobek. Porsinya cukup banyak, bahkan untuk 2 orang. YogYES sempat mencoba masakan ini di warung yang berlokasi beberapa meter di atas tempat parkir. Ada juga landak laut goreng yang rasanya mirip daging ayam.
Pada saat-saat tertentu, anda bisa melihat upacara Ngalangi yang digelar oleh penduduk setempat. Upacara ini digelar sekali setahun, mirip upacara labuhan besar, tujuannya adalah mengungkapkan syukur pada Tuhan atas anugerah yang diberikan dan memohon rejeki lebih untuk masa mendatang. Anugerah yang dimaksud terutama adalah hasil tangkapan ikan yang jumlahnya lumayan, hingga bisa mencukupi kebutuhan.
Prosesi upacaranya cukup unik, dimulai dengan acara merentangkan gawar atau jaring yang dibuat dari pohon wawar. Jenis jaring ini konon digunakan untuk menangkap ikan sebelum adanya jaring dari senar yang dipakai sekarang. Gawar direntangkan dari bukit Kedongkowok hingga wilayah pasang surut pantai. Perentangan dilakukan saat air pasang, tujuannya adalah menjebak ikan yang terbawa ombak sehingga tak dapat kembali ke lautan.
Setelah air surut, ikan-ikan diambil. Warga kemudian sibuk membersihkan dan memasak ikan tangkapan. Sebagian kecil ikan dilabuh lagi ke lautan bersama nasi dan sesaji. Sebagian besar lainnya dibagi sesuai dengan jumlah keluarga penduduk setempat dan diantar ke rumah-rumah warga. Acara mengantar ikan ke rumah- rumah warga ini sering disebut kendurian besar, wujud kearifan lokal bahwa semua ikan adalah rejeki bersama.
Kecuali upacara Ngalangi, seluruh pesona pantai bisa dinikmati setiap harinya. Bila ingin bermalam atau menggelar sebuah acara yang dihadiri sekelompok kecil orang, terdapat sebuah gubug yang terletak tak jauh dari warung-warung yang berjejer di pantai. Sangat mengasyikkan dan mampu menebus rasa lelah ketika menuju ke pantai ini

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/wediombo/

PANTAI DEPOK Menikmati Hidangan Ikan Laut Segar

PANTAI DEPOK
Menikmati Hidangan Ikan Laut Segar

Depok, Bantul, Yogyakarta, Indonesia
Pantai Depok menyajikan hidangan ikan segar dan sejumlah hasil tangkapan laut lainnya dalam nuansa khas restaurant pesisir. Tak jauh dari pantai ini, anda bisa menikmati panorama gumuk pasir satu-satunya di kawasan Asia Tenggara.
Di antara pantai-pantai lain di wilayah Bantul, Pantai Depok-lah yang tampak paling dirancang menjadi pusat wisata kuliner menikmati sea food. Di pantai ini, tersedia sejumlah warung makan tradisional yang menjajakan sea food, berderet tak jauh dari bibir pantai. Beberapa warung makan bahkan sengaja dirancang menghadap ke selatan, jadi sambil menikmati hidangan laut, anda bisa melihat pemandangan laut lepas dengan ombaknya yang besar.
Nuansa khas warung makan pesisir dan aktivitas nelayan Pantai Depok telah berkembang sejak 10 tahun lalu. Menurut cerita, sekitar tahun 1997, beberapa nelayan yang berasal dari Cilacap menemukan tempat pendaratan yang memadai di Pantai Depok. Para nelayan itu membawa hasil tangkapan yang cukup banyak sehingga menggugah warga Pantai Depok yang umumnya berprofesi sebagai petani lahan pasir untuk ikut menangkap ikan.
Sejumlah warga pantai pun mulai menjadi "tekong", istilah lokal untuk menyebut pencari ikan. Para tekong melaut dengan bermodal perahu bermotor yang dilengkapi cadik. Kegiatan menangkap ikan dilakukan hampir sepanjang tahun, kecuali pada hari-hari tertentu yang dianggap keramat, yaitu Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Di luar musim paceklik ikan yang berlangsung antara bulan Juni - September, jumlah hasil tangkapan cukup lumayan.
Karena jumlah tangkapan yang cukup besar, maka warga setempat pun membuka Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang kemudian dilengkapi dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) bernama Mina Bahari 45. Tempat pelelangan ikan di pantai ini bahkan menerima setoran ikan yang ditangkap oleh nelayan di pantai-pantai lain. Saat YogYES berkunjung, tempat pelelangan ini tengah ramai dikunjungi oleh para wisatawan.
Seiring makin banyaknya pengunjung pantai yang berjarak 1,5 kilometer dari Parangtritis ini, maka dibukalah warung makan-warung makan sea food. Umumnya, warung makan yang berdiri di pantai ini menawarkan nuansa tradisional. Bangunan warung makan tampak sederhana dengan atap limasan, sementara tempat duduk dirancang lesehan menggunakan tikar dan meja-meja kecil. Meski sederhana, warung makan tampak bersih dan nyaman.
Beragam hidangan sea food bisa dicicipi. Hidangan ikan yang paling populer dan murah adalah ikan cakalang. Jenis ikan lain yang bisa dinikmati adalah kakap putih dan kakap merah. Jenis ikan yang harganya cukup mahal adalah bawal. Selain ikan, ada juga kepiting, udang dan cumi-cumi.
Hidangan sea food biasanya dimasak dengan dibakar atau digoreng. Jika ingin memesannya, anda bisa menuju tempat pelelangan ikan untuk memesan ikan atau tangkapan laut yang lain. Setelah itu, anda biasanya akan diantar menuju salah satu warung makan yang ada di pantai itu oleh salah seorang warga.
Puas menikmati hidangan sea food, anda bisa keluar pantai dan berbelok ke kanan menuju arah Parangkusumo dan Parangtritis. Di sana, anda akan menjumpai pemandangan alam yang langka dan menakjubkan, yaitu gumuk pasir. Gumuk pasir yang ada di pantai ini adalah satu-satunya di kawasan Asia Tenggara dan merupakan suatu fenomena yang jarang dijumpai di wilayah tropis. Di sini, anda bisa menikmati hamparan pasir luas, bagai di sebuah gurun.
Gumuk pasir yang terdapat di dekat Pantai Depok terbentuk selama ribuan tahun lewat proses yang cukup unik. Dahulu, ada beragam tipe yang terbentuk, yaitu barchan dune, comb dune, parabolic dune dan longitudinal dune. Saat ini hanya beberapa saja yang tedapat, yaitu barchan dan longitudinal. Angin laut dan bukit terjal di sebelah timur menerbangkan pasir hasil aktivitas Merapi yang terendap di dekat sungai menuju daratan, membentuk bukit pasir atau gumuk.
Untuk menikmati hidangan laut sekaligus pemandangan gumuk pasir ini, anda bisa melalui rute yang sama dengan Parangtritis dari Yogyakarta. Setelah sampai di dekat pos retribusi Parangtritis, anda bisa berbelok ke kanan menuju Pantai Depok.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/depok/photo-gallery/2/

PANTAI PARANGTRITIS Pantai Paling Terkenal di Yogyakarta

PANTAI PARANGTRITIS
Pantai Paling Terkenal di Yogyakarta

Jl. Parangtritis km 28, Yogyakarta 55188, Indonesia
Pantai Parangtritis adalah tempat wisata terbaik untuk menikmati sunset sambil having fun menaklukkan gundukan pasir dengan ATV (All-terrain Vechile) ataupun menyusuri pantai dengan bendi dalam senja yang romantis.
Pantai Parangtritis terletak 27 km selatan Kota Jogja dan mudah dicapai dengan transportasi umum yang beroperasi hingga pk 17.00 maupun kendaraan pribadi. Sore menjelang matahari terbenam adalah saat terbaik untuk mengunjungi pantai paling terkenal di Yogyakarta ini. Namun bila Anda tiba lebih cepat, tak ada salahnya untuk naik ke Tebing Gembirawati di belakang pantai ini. Dari sana kita bisa melihat seluruh area Pantai Parangtritis, laut selatan, hingga ke batas cakrawala.
Pssst, YogYES akan memberitahu sebuah rahasia. Belum banyak orang tahu bahwa di sebelah timur tebing ini tersembunyi sebuah reruntuhan candi. Berbeda dengan candi lainnya yang terletak di daerah pegunungan, Candi Gembirawati hanya beberapa ratus meter dari bibir Pantai Parangtritis. Untuk menuju candi ini, kita bisa melewati jalan menanjak dekat Hotel Queen of the South lalu masuk ke jalan setapak ke arah barat sekitar 100 meter. Sayup-sayup gemuruh ombak laut selatan yang ganas bisa terdengar dari candi ini.
Pantai Parangtritis sangat lekat dengan legenda Ratu Kidul. Banyak orang Jawa percaya bahwa Pantai Parangtritis adalah gerbang kerajaan gaib Ratu Kidul yang menguasai laut selatan. Hotel Queen of the South adalah sebuah resort yang diberi nama sesuai legenda ini. Sayangnya resort ini sekarang sudah jarang buka padahal dulu memiliki pemandangan yang sanggup membuat kita menahan nafas.

Sunset yang Romantis di Parangtritis

Ketika matahari sudah condong ke barat dan cuaca cerah, tibalah saatnya untuk bersenang-senang. Meskipun pengunjung dilarang berenang, Pantai Parangtritis tidak kekurangan sarana untuk having fun. Di pinggir pantai ada persewaan ATV (All-terrain Vehicle), tarifnya sekitar Rp. 50.000 - 100.000 per setengah jam. Masukkan persneling-nya lalu lepas kopling sambil menarik gas. Brrrrooom, motor segala medan beroda 4 ini akan melesat membawa Anda melintasi gundukan pasir pantai.
Baiklah, ATV mungkin hanya cocok untuk mereka yang berjiwa petualang. Pilihan lain adalah bendi. Menyusuri permukaan pasir yang mulus disapu ombak dengan kereta kuda beroda 2 ini tak kalah menyenangkan. Bendi akan membawa kita ke ujung timur Pantai Parangtritis tempat gugusan karang begitu indah sehingga sering dijadikan spot pemotretan foto pre-wedding. Senja yang remang-remang dan bayangan matahari berwarna keemasan di permukaan air semakin membangkitkan suasana romantis.
Pantai Parangtritis juga menawarkan kegembiraan bagi mereka yang berwisata bersama keluarga. Bermain layang-layang bersama si kecil juga tak kalah menyenangkan. Angin laut yang kencang sangat membantu membuat layang-layang terbang tinggi, bahkan bila Anda belum pernah bermain layang-layang sekalipun.
Masih enggan untuk pulang walau matahari sudah terbenam? Tak lama lagi beberapa penjual jagung bakar akan menggelar tikar di pinggir pantai, kita bisa nongkrong di sana hingga larut malam. Masih juga belum mau pulang? Jangan khawatir, di Pantai Parangtritis tersedia puluhan losmen dan penginapan dengan harga yang terjangkau

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/parangtritis/

PANTAI INDRAYANTI Pantai Bersih dengan Restoran Cafe

PANTAI INDRAYANTI
Pantai Bersih dengan Restoran Cafe

Tepus, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia ()
Selain menawarkan pesona pantai berpasir putih dengan air laut yang jernih, Indrayanti juga menawarkan sensasi dinner romantis bertabur bintang di restoran yang terletak di tepi pantai.
Matahari belum tinggi saat YogYES tiba di Pantai Indrayanti. Dua ekor siput laut bergerak pelan di sebuah ceruk karang, tak peduli dengan ombak yang menghempas. Segerombol remaja asyik bercengkerama sambil sesekali bergaya untuk diambil gambarnya. Di sebelah barat nampak 3 orang sedang berlarian mengejar ombak, sebagian lainnya bersantai di tengah gazebo sembari menikmati segarnya kelapa muda yang dihidangkan langsung bersama buahnya. Beberapa penginapan yang dikonsep back to nature berdiri dengan gagah di bawah bukit, sedangkan rumah panggung dan gubug yang menyerupai honai (rumah adat Papua) berdiri di dekat pantai. Jet ski kuning teronggok di sudut restoran.
Terletak di sebelah timur Pantai Sundak, pantai yang dibatasi bukit karang ini merupakan salah satu pantai yang menyajikan pemandangan berbeda dibandingkan pantai-pantai lain yang ada di Gunungkidul. Tidak hanya berhiaskan pasir putih, bukit karang, dan air biru jernih yang seolah memanggil-manggil wisatawan untuk menceburkan diri ke dalamnya, Pantai Indrayanti juga dilengkapi restoran dan cafe serta deretan penginapan yang akan memanjakan wisatawan. Beragam menu mulai dari hidangan laut hingga nasi goreng bisa di pesan di restoran yang menghadap ke pantai ini. Pada malam hari, gazebo-gazebo yang ada di bibir pantai akan terlihat cantik karena diterangi kerlip sinar lampu. Menikmati makan malam di cafe ini ditemani desau angin dan alunan debur ombak akan menjadi pengalaman romantis yang tak terlupa.
Penyebutan nama Pantai Indrayanti sebelumnya menuai banyak kontraversi. Indrayanti bukanlah nama pantai, melainkan nama pemilik cafe dan restoran. Berhubung nama Indrayanti yang terpampang di papan nama cafe dan restoran pantai, akhirnya masyarakat menyebut pantai ini dengan nama Pantai Indrayanti. Sedangkan pemerintah menamai pantai ini dengan nama Pantai Pulang Syawal. Namun nama Indrayanti jauh lebih populer dan lebih sering disebut daripada Pulang Syawal. Keterlibatan pihak swasta dalam pengelolaan Pantai Indrayanti rupanya turut membawa dampak positif. Berbeda dengan pantai-pantai lain yang agak kotor, sepanjang garis pantai Indrayanti terlihat bersih dan bebas dari sampah. Hal ini dikarenakan pengelola tak segan-segan menjatuhkan denda untuk tiap sampah yang dibuang oleh wisatawan secara sembarangan. Karena itu Indrayanti menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi.
Usai menikmati sepiring nasi goreng dan es kelapa muda di gazebo, YogYES beranjak menuju bukit di sisi timur. Berhubung tidak ada jalan, menerobos semak dan perdu sembari memanjat karang pun menjadi pilihan. Sesampainya di atas bukit pemandangan laut yang bebatasan dengan Samudra Hindia terhampar. Beberapa burung terbang sambil membawa ilalang untuk membangun sarang. Suara debur ombak dan desau angin berpadu menciptakan orkestra yang indah dan menenangkan. YogYES pun melayangkan pandangan ke arah barat. Beberapa pantai yang dipisahkan oleh bukit-bukit terlihat berjajar, gazebo dan rumah panggung terlihat kecil, sedangkan orang-orang laksana liliput. Saat senja menjelang, tempat ini akan menjadi spot yang bagus untuk menyaksikan mentari yang kembali ke peraduannya. Sayang YogYES harus bergegas pulang. Meski tidak sempat menyaksikan senja yang indah, pesona Pantai Indrayanti telah terpatri di hati.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/indrayanti/

PANTAI BARON Kisah Si Bule Sakti dan Mercusuarnya yang Tinggi

PANTAI BARON
Kisah Si Bule Sakti dan Mercusuarnya yang Tinggi

Kemadang, Tanjungsari, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia
Pesisir Selatan Jawa memang sarat dengan kisah-kisah unik, termasuk di Pantai Baron, yang konon menjadi tempat terdamparnya bule sakti. Kita bisa membayangkan kisah tersebut dari pesisir yang asri, atau dari mercusuarnya yang tinggi.
Sedikit awan mendung terlihat menggantung di langit ketika YogYes menyusuri jalan berliku di Gunungkidul. Aura panas nan kering menemani kami sepanjang perjalanan, menjadi latar yang tepat untuk bukit-bukit berkarang yang menjadi ciri khas kabupaten ini. Suasana ini tiba-tiba berubah menjadi segar ketika kami melewati gerbang pintu masuk kawasan Pantai Baron, ketika barisan jati kering berganti pohon-pohon hijau nan segar. Suara ombak pun terdengar memanggil-manggil di kejauhan, membuat kami tidak sabar untuk merasakan pasir pantai nan halus dan keganasan sang laut selatan.
Setelah melewati barisan kios pedagang makanan laut yang menggoda, kami pun sampai di tepi Pantai Baron yang memukau. Pantai berbentuk "U" ini diapit oleh dua barisan karang di kedua sisinya, menahan gelombang laut selatan yang terus mengganas tiada henti. Di sisi sebelah barat, terdapat aliran sungai air tawar yang entah muncul dari mana. Sungai yang hanya sepanjang beberapa ratus meter ini bermuara tepat di pinggir pantai, menyajikan pemandangan unik saat air tawar dan air laut saling menyapa satu sama lain. Puluhan kapal berbaris di atas pasir pantainya yang putih kecoklatan, menanti pasang datang untuk melaut di malam hari.
Ketika menikmati pemandangan ini, sebuah pertanyaan melintas di kepala kami: kenapa namanya Baron? Nama ini memang sedikit aneh karena tidak berkesan Njowo sama sekali, berbeda dengan nama-nama pantai tetangganya seperti Krakal, Kukup dan Indrayanti. Lebih aneh lagi, kata "baron" ini sebenarnya berasal dari gelar terendah para bangsawan di berbagai kerajaan Eropa pada abad pertengahan. Bagaimana mungkin kata yang begitu londo ini menjadi nama sebuah pantai yang agak terpencil di Gunungkidul?
Setelah kami telusuri, ternyata nama pantai londo ini merujuk pada tokoh ketoprak Baron Sekeber. Tidak seperti tokoh ketoprak pada umumnya, si Baron Sekeber ini seorang bangsawan Belanda (ada juga yang bilang Spanyol atau Portugis) dengan ilmu kesaktian tinggi, bahkan pernah melawan Panembahan Senopati sang pendiri Kesultanan Mataram. Nah, pada tahun 1930-an pantai ini digunakan sebagai tempat persembunyian dan penyimpanan senjata oleh Belanda, namun belum banyak warga lokal yang tinggal di sekitarnya. Kami pun berpikir, mungkin saja pantai ini dinamai Pantai Baron karena ada banyak orang Belanda yang pernah tinggal di sana, kemudian disangkut-pautkan dengan legenda Baron Sekeber. Pantai ini pun akhirnya dinamai sebagai Pantai Baron untuk mengenang kisah si bule sakti tersebut (AH Farhani, 2008).
Terlepas dari asumsi ini, Pantai Baron tetap menyajikan sebuah pemandangan yang tidak bisa kita lewatkan. Warna air sungai bawah tanah yang kehijauan berpadu sempurna dengan tanaman hijau di atasnya, sebelum akhirnya bertabrakan dengan air laut yang kebiruan. Pasirnya memang tidak terlalu putih, namun tergolong cantik ketika berpadu dengan dua bukit karang yang menjulang tinggi di sekitarnya. Di sini, kita tidak disarankan untuk berenang karena ombak Samudra Hindia yang kejam bisa menyeret kita ke tengah lautan. Jangan khawatir, kita masih bisa menikmati birunya laut dari atas kapal sewaan untuk berkeliling area Pantai Baron yang asri.
Mercusuar Tinggi di Atas Karang
Di atas bukit karang di sebelah timur, kita bisa melihat sebuah menara putih yang menjulang di dekat jurang, mengingatkan kita pada Minas Tirith dari trilogy The Lord of The Ring. Karena penasaran, kami pun menghampiri menara ini melalui tangga berbatu yang berada tepat di sebelah timur pantai. Kita diharuskan untuk membayar Rp.2000,-/orang sebagai ongkos perawatan tangga ini. Setelah beberapa ratus meter, kami pun sampai di kompleks Mercusuar Tanjung Baron yang ada tepat di puncak bukit karang, persis seperti Minas Tirith di atas The City of Kings. Bedanya, tidak ada kota di bawah mercusuar ini, hanya lautan luas dengan ombaknya yang ganas.
Menurut petugas penjaga mercusuar, menara putih ini baru dibangun pada bulan Februari 2014 dan diresmikan pada bulan Desember tahun yang sama. Mercusuar setinggi 40 meter ini didirikan untuk menggantikan mercusuar lama yang berada di sampingnya, berupa menara besi yang terlihat sudah sangat keropos. Selain untuk mengganti mercusuar lama, menara ini juga didirikan untuk menambah atraksi wisata di kompleks Pantai Baron. Fungsi aslinya sebagai pemandu kapal yang melintas juga tetap dipertahankan, meskipun kebanyakan kapal sudah memiliki alat navigasi yang lebih canggih.
"Terkadang kan alat yang canggih itu rusak atau kurang akurat, nah kalau sudah begitu fungsi mercusuar begitu krusial untuk navigasi kapal," kata Pak Jacob, salah satu petugas yang menjaga fungsi Mercusuar Tanjung Baron ini. "Mercusuar menjadi penanda jarak dan terpisah setiap 12 mil laut (sekitar 22 km), semuanya dioperasikan oleh Dirjen Perhubungan Laut dengan kantor pusat di Cilacap. Lampu di atas menara berputar-putar supaya mudah menarik perhatian pelaut."
Dengan membayar Rp.5000 per orang, kita bisa memasuki mercusuar ini dan menikmati bentang alam Gunungkidul dari ketinggian. Ruangan di dalam mercusuar ternyata cukup besar, terdiri atas 9 lantai berbentuk segi banyak. Setiap lantai dihubungkan oleh tangga spiral yang cukup curam dan semakin menyempit di bagian atas. Pada lantai-lantai genap, terdapat sebuah balkon yang bisa kita gunakan untuk mengamati pemandangan di sekitar mercusuar. Pada lantai ke-7, tangga spiral digantikan oleh tangga vertikal yang licin, sehingga kita disarankan untuk melepas alas kaki ketika menanjaki tangga tersebut. Sehabis melewati tangga yang agak horor ini, barulah kita bisa melihat pemandangan yang spektakuler: barisan perbukitan karst yang memanjang di utara, kontras dengan bentangan samudra bergelombang di selatan.
Dari puncak menara ini, angin berhembus semilir mendamaikan rasa lelah yang terasa ketika kita mendaki tangga nan curam. Luasnya lautan menjadi background yang pas untuk berfoto dengan berbagai pose; namun kita tetap harus berhati-hati dengan angin kencang yang terkadang berhembus dari arah lautan. Di puncak Mercusuar juga terdapat beberapa instrumen sensitif yang tidak boleh kita sentuh, seperti lampu putar, baterai dan panel surya yang menyuplai tenaga listrik ke seluruh mercusuar tersebut. Intinya, kita harus berhati-hati dan tetap menjaga bhttps://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/baron/angunan ini agar tidak rusak, mengingat fungsinya yang sangat vital bagi para pelaut yang melintas di Samudra Hindia.
Sore itu, kami menikmati pemandangan matahari terbenam di belakang Mercusuar. Meskipun sedikit berawan, suasana dramatis tetap muncul dan sukses membuat kami merinding akan keindahannya. Kami pun pulang dengan senyuman di wajah, setelah menikmati senja yang cantik di pantai sang bule sakti.

SUMBER: https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/baron/